cerita klasik

sebuah kisah akan selalu terulang dan terus terulang, mungkin kisah yang hadir disini sudah usang. tapi akan terus berulang pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang. selamat membaca!

January 05, 2003

PERBINCANGAN PADA SENJA

Kau kembali
ketika senja menebar perunggu
di keluasan cakrawala.
Dan aku tak mampu mengubah warna senja,
agar kau bahagia.
Tanya itu adalah bisa bagi jiwaku yang hampa.


Kau kembali!
Aku seakan tak percaya pada penglihatanku sendiri. Jujur saja, aku rindu kebersamaan kita di masa lalu. Ahh…ternyata senja membawamu padaku.
“Kau tak berubah!” katamu saat aku berteriak melihat kedatanganmu.
“Gerangan apa yang membawamu kemari?” kataku.
“Naluriku berbisik agar aku kemari, akhirnya kukendarai angin kerinduan ini untuk sampai di depan pintumu.” Kau masih juga seperti dulu, pandai berkata-kata.
“Ternyata kebiasaan menggombalmu masih belum hilang!” kataku lagi.
“Sebab aku belajar darimu,” katamu.
Kau keluarkan sebatang rokok, masih dengan merk yang sama.
Lalu kami duduk memandang senja. Aku masih terus saja mengagumi senja, padahal setiap hari, senja ini terlewati. Anehnya aku tak merasa bosan menelan jingganya.
“Masih 234 Bung!” kataku lagi mencoba mencari perubahan dalam dirimu.
“Semasih aku mampu. Kau masih ingat? Aku menghisap rokok ini pertama kalinya sebab rokok ini pemberianmu. Dari sana aku tak ingin mengubahnya.” Dengan cepat kau nyalakan rokok itu dan menghisapnya dalam-dalam.
“Aku sepertinya ikut menikmati saat kau menghisap rokok itu,” kataku masih tetap berusaha mencari hal lain dalam dirimu.
“Kau merokok juga?” kau memperlihatkan wajah kaget. Kau menatapku dengan sejuta tanya lewat kerutan di dahimu.
“Tentu saja tidak! Aku takkan pernah mencobanya, walau satu hisap saja,” jawabanku membuat tawa di bibirmu. Akhirnya aku ikut juga tertawa.
“Aku memang bodoh. Aku telah menganggapmu sama seperti perempuan lain. Maafkan aku,” kini di wajahmu tergambar keseriusan.
“Sudahlah! Lupakan saja, sebab bukan hanya kau yang berkata demikian. Seniorku di kampus pun berkata seperti itu.” Aku tersenyum agar kau tak terlalu merasa bersalah.
“Oh ya, kau belum bercerita tentang kampusmu! Sudah ketemu jodoh belum?” kini tawamu terdengar nakal.
“Biasa saja, tak ada yang menarik. Hanya kejenuhan-kejenuhan itu kini semakin sering mendatangiku.” Menatap senja membawaku seperti melayang.
“Carilah pacar! Agar kau tak bocan.” Matamu pun sama. Menakjubi senja dan awan-awan berwarna perunggu.
“Entahlah, aku tak bisa. Mencoba mencintai seseorang ternyata sulit, lebih sulit daripada dicintai. Sampai saat ini, aku belum bisa jatuh cinta,” kutatap wajahmu, terkenang aku pada masa-masa yang lalu.
“Maafkan aku. Bertanya hal itu padamu.” Kini kau merasa teramat bersalah.
“Sudahlah, aku lebih suka kau mengejek daripada kau mengasihaniku seperti itu,” kataku dengan suara tegas.
“Hahaha…haha. Aku lupa satu hal lagi tentangmu!” kau kini tertawa, tapi aku tak tahu apa isi hatimu.
“Dulu…aku bahagia, saat kukatakan aku berhasil mencintaimu, namun akhirnya aku tahu juga. Itu bukan cinta. Sebab, perasaanku pada yang lainpun sama, sama seperti padamu,” setengah bergumam kata-kata itu meluncur dari bibirku.
“Saat itupun aku menyadari, kau tak mencintaiku sepenuh hati. Sebab, kau tak punya rasa cemburu, tak ada kebahagiaan berlebih di matamu saat kita bertemu dan berbincang-bincang. Walaupun kuakui kasih sayang dan perhatianmu membuatku bergetar. Saat itu, ingin kumiliki kau seutuhnya.” Matamu menerawang jauh.
“Lalu, kenapa tak kau katakan kalau itu bukan cinta? Kalau sebenarnya aku tak pernah jatuh cinta pada siapapun.”
Kucari jawaban pada kepulan asap rokok yang baru saja kau hembuskan.
“Aku tak ingin melihat orang yang kucintai kecewa!” Kulihat kau menarik nafas panjang, seperti ada beban dalam dadamu yang ingin kau hembuskan, bersama asap rokok yang kau hisap.
“Lalu tentangmu. Siapa pacarmu saat ini?” kataku lagi.
“Tak ada! Aku belum bisa mencintai perempuan selain dirimu. Pertama kali aku menyatakan cinta, aku berniat ingin menolongmu menemukan cinta pertama, meskipun saat itu belum tumbuh dalam jiwaku cinta seperti sekarang ini." Aku lihat kau menunduk sesaat lalu kau menatapku. Tatapanmu masih seperti dulu. Dan aku, tak suka kau menatapku seperti itu.
“Lalu apa yang akan kau perbuat untuk saat ini?”
“Aku menunggu jawabanmu!” Kata-katamu seperti petir di siang bolong. Aku berpikir kau mungkin sedang membuat sandiwara untuk membuatku tertawa.
“Kau bercanda kan?” kataku sambil menahan tawa.
“Tidak. Aku serius! Aku mohon kau menjawabnya. Apakah boleh, aku kembali menghiasi hari-harimu?” dalam ucapanmu aku terhanyut.
“Kau serius rupanya!” hanya kata itu yang mampu kuucapkan.
“Ya. Dan kau harus menjawabnya.”
Lalu kita berdua diam. Kembali mengakrabi senja yang semakin berwarna perunggu. Tanganmu mematikan rokok, menjadikannya sebagai penghuni asbak, kau menatapku. Menantikan sebuah jawaban.
“Terima kasih kau masih menyimpan cinta untukku, aku bahagia. Namun, aku tak ingin membohongimu dengan berpura-pura mencintaimu sepenuh hati. Padahal di satu sisi kau tak lebih berarti dengan yang lainnya. Aku mencintaimu sebagai sahabat,” kata demi kata kuucapkan. Perlahan tapi pasti.
Kulihat kau menghembuskan nafas dalam. Aku tahu, kau mencoba untuk tegar menghadapi kenyataan ini.
“Sudah kuduga jawabanmu. Tapi tetap saja, ada kekecewaan menghantui. Ahh…sudahlah, aku seharusnya bahagia, sebab kau mencintaiku sebagai sahabat.” Ada senyum yang dipaksakan pada kedua bibirmu.
“Lebih baik kau minum dulu! Lalu kau ceritakan hidupmu yang lain. Biarlah sepenggal kisah ini tak perlu kau simpan dalam memori. Agar kau tak akan terkenang lagi.”
“Mencintaimu bukankah tak harus mengubah warna senja?” pertanyaan itu tiba-tiba menghiasi perbincangan kita selepas maghrib. Membuatku berpikir.
“Apa maksudmu? Aku tak paham.”
“Mencintaimu tak harus kau balas dengan kau mencintaiku, sebab senja tetaplah senja.” Matamu kini kosong, hampa.
“Sudahlah…jangan kita lanjutkan obrolan ini. Aku ingin kau cerita tentang hidupmu yang lain. Kuliahmu, orangtuamu, atau segala hal tentangmu asal jangan membahas hal yang tadi,” kataku akhirnya.
“Kenapa? Kau takut?” kau berbicara seakan-akan mengancamku.
“Aku tak takut. Aku hanya khawatir kalau pada akhirnya nanti, kau akan kembali mempertanyakan satu hal kepadaku. Dan aku tak ingin menjawabnya untuk saat ini,” suaraku menggema.
“Kadang aku berpikir, kau adalah perempuan aneh,” kembali tanganmu menyalakan api, membakar rokok dan hanyut dalam kepulan asap putih.
“Itu karena kau terbiasa dengan perempuan yang bertolak belakang dengan sifatku.” Kutatap kembali raut wajahmu, kini kusadari bahwa dirimu semakin dewasa.
“Sejujurnya, aku ingin kau menerima cintaku. Lalu kita akan kembali mengulang masa indah dulu. Tapi, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan kekecewaan,” katamu lagi. Ada guratan kesedihan pada matamu.
“Sudahlah, tokh pada akhirnya kau dan aku lebih cocok jadi sahabat. Aku menyadari hal itu, kau adalah sahabat terbaikku…”
“Tapi, aku punya satu pertanyaan terakhir untukmu,” katamu tanpa menunggu aku menyelesaikan kalimat.
“Tentu saja. Silahkan. Asal jangan mempertanyakan jawabanku atas permintaanmu, sebab aku tak bisa,” kataku.
“Tapi kau harus menjawabnya!” katamu dengan wajah memaksa.
“Kalau aku mampu. Tapi aku tak bisa berjanji.” Hatiku bertanya-tanya, apa pertanyaan yang hendak kau ajukan untukku.
“Windy. Kapan kau akan mulai jatuh cinta?” Pertanyaan yang meluncur mulus dari bibirmu membuatku tersentak.
Seperti ada sembilu yang mengiris hatiku. Bukan karena pertanyaan yang kau ajukan untukku, bukan. Bukan pula karena pertanyaan itu membuatku merasa bahwa kau sedang mengejekku, bukan. Bukan hal itu.
Aku hanya merasa. Sekarang ini aku berada dalam gua tanpa sedikitpun cahaya. Dan cahaya itu, entah kapan akan aku temukan. Aku hanya menunduk. Menatap lekat lantai tempatku berpijak. Aku berharap di bawah sana, ada cinta untukku.
Aku ingin mencintai seseorang. Tak peduli siapapun dia. Namun, entah kapan itu terjadi.
“Aku tak tahu, Pras! Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu.”
***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home