cerita klasik

sebuah kisah akan selalu terulang dan terus terulang, mungkin kisah yang hadir disini sudah usang. tapi akan terus berulang pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang. selamat membaca!

January 05, 2003

MENJELANG SUBUH DI JALAN SETIABUDHI


Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 00.30 WIB. Kami bersiap-siap pergi lengkap dengan jaket, kupluk dan syal. Menuruni tangga, terasa udara dingin menyelusup lewat pentilasi di gedung ini. Keluar dari gedung Pentagon, –gedung tempat kami berkontemplasi- kulihat langit cerah, bintang bertaburan menghiasi malam yang temaram, sedang bulan malu-malu di antara awan gemawan.
Langkah kami sempat terhenti melihat langit yang indah itu, tapi setelah beberapa saat langkah kam berlanjut. Kami melewati sebuah Bank, tak satupun orang di sana, padahal kalau siang sering kulihat orang-orang antri di ATMnya. Melewati Pos Satpam, hanya dua orang satpam berdiri sambil ngobrol. Kami menyebrang jalan. Beberapa detik kami mematung di jalan yang sepi. Hanya dua, tiga mobil saja yang lewat. Aku tak habis pikir, kenapa kalau siang jalan bisa macet? Tak ada satupun angkot yang lewat di depan kami. Kami saling berpandangan.
“Kita tunggu sebentar lagi, kalau tak ada saja, kita jalan!” kata-katanya bergetar di antara udara yang membeku.
Kami semakin merapatkan jaket. Lalu dari arah terminal, aku melihat sebuah angkot tua terseok-seok. Tangan kami memberi isyarat untuk berhenti. Sopir angkot terlihat mengantuk, kami duduk di bagian belakang, hanya ada dua orang penumpang yang kulihat terpejam matanya.
Tepat di sebuah tenda penjual roti bakar, kami berhenti. Dia membayar ongkos kami berdua. Sopir dengan acuh tak acuk melempar uang pembayaran ongkos kami, lalu kembali menghidupkan mesin mobil, melaju, terseok-seok.
Kami masuk ke dalam tenda, kami duduk berhadapan. Mataku menatap lurus ke arah jalan Setiabudhi. Beberapa orang berjalan di antara kesunyian yang semakin mencekam. Sebuah Kijang berhenti, tepat di depan tenda, tempat kami duduk. Sedang kami masih membisu, tak ada satu katapun yan keluar dari bibir kami.
“Pesan apa Mbak?” seorang koki berdiri di sampingku, aku masih membisu. Koki tersebut menoleh ke arahnya. Dia menatapku, aku hanya diam.
“Roti bakar dua!” akhirnya dia berkata pada koki yang memakai serbet berwarna putih dengan kemeja kotak-kotak melekat dibaliknya.
Tak satu pun obrolan yang keluar ketika kami makan. Beberapa orang datang, duduk di antara meja-meja yang sudah diatur. Satu meja dengan empat kursi terbuat dari plastik. Obrolan mereka, tawa mereka, menjadikan udara dingin sedikit menguap dari tubuhku.
Selesai makan, aku berdiri lalu keluar dari tenda, sementara dia membayar makanan yang telah kami makan. Aku kembali menatap jalan Setiabudhi, sepi. Hanya ada satu mobil Karimun yang lewat di hadapanku dalam beberapa detik saja, mobil itu sudah menghilang karena kecepatan yang digunakan selalu tinggi di malam sesepi ini. Dia muncul dari dalam tenda, kami bertatapan. Jam ditangannya tepat pukul 03.15 WIB. Kami menyebrang jalan yang lengang, padahal kalau kubayangkan kami sedang berada siang hari, maka kami takkan semudah ini menyebrang jalan. Jalan Setiabudhi waktu siang adalah jalan yang selalu macet.
Kami berjalan ke arah Panorama, pulang menuju Pentagon –gedung tempat kami berkontemplasi.-
Udara masih tetap dingin, sedingin hati kami.***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home