cerita klasik

sebuah kisah akan selalu terulang dan terus terulang, mungkin kisah yang hadir disini sudah usang. tapi akan terus berulang pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang. selamat membaca!

January 07, 2003

MENGAPA KAU MEMILIHKU

“Mengapa kau memilihku?” matanya menatapku tajam. Ada kilatan-kilatan asing pada dua bola matanya.
“Karena aku mencintaimu,” kataku mantap.
Biasanya, seorang perempuan akan tertunduk malu dengan pipi bersemu merah saat mendengar ucapanku. Tak peduli dia mencintaiku atau tidak. Tapi perempuan yang berada di hadapanku sekarang, dia malah sebaliknya. Matanya semakin tajam menatapku. Aku jengah, kini justeru aku yang menunduk di hadapannya.
“Jangan berkata cinta. Aku terlalu awam untuk perkara macam itu,” katanya tegas.
“Ini perasaanku yang sebenarnya, Win!” Ini saatnya berterus terang, pikirku.
“Perasaan?” pertanyaannya seperti mencoba meyakinkanku.
“Iya, Win, perasaanku padamu.”
“Jangan berlebihan memahami perasaan. Sebab dia mudah berubah, kini kau merasakan A, tapi besok. Bisakah kau menjamin perasaan itu masih A?” Dia tersenyum sekilas, senyum yang semakin asing.
“Ya, kau benar. Tapi bukankah ketika perasaanku saat ini kukatakan, lalu kau pun punya perasaan yang sama. Kita bisa mempertahankannya bukan? Sampai perasaan kita benar-benar menyatu, sampai akhirnya kita akan menjalin hidup bersama, selamanya!” Aku berbicara panjang tentang konsep perasaan yang kupahami.
“Kamu berpikir rumit amat sih, to.” Dia geleng-geleng kepala mendengar penjelasanku yang panjang lebar itu.
“Rumit? Mungkin. Tapi kau yang mendorongku untuk berkata seperti ini,” kataku mengelak.
“Wanto, aku tidak membutuhkan falsafah apapun. Aku hanya bertanya ‘kenapa kau memilihku?’ pertanyaanku sederhana, to. Kau yang telah membuatnya jadi rumit,”
Dia telah membuatku terdiam lama.
“Kenapa aku memilihmu?” tak sadar bibirku mengulang pertanyaannya.
Dia tersenyum. Mengejekku? Mungkin. Tapi aku tak peduli. Kuulangi kembali pertanyaannya beribu kali dalam kepalaku. Kenapa aku memilihmu? Kenapa aku memilihmu? Kenapa aku memilihmu? Kenapa aku...?
“Kau tak punya jawaban kan, to?” katanya saat melihatku terdiam lama, “lebih baik kau pikirkan kembali, apakah pernyataanmu itu benar atau hanya perasaan yang selewat habis. Aku masih disini, kau tak perlu tergesa.” Dia beranjak, meninggalkan kesunyian kampus saat senja tiba.
“Win, sebentar!” Kataku, mencoba menghentikannya.
“Kenapa, to?” Dia menoleh, berhenti melangkahkan kakinya, menungguku menghampirinya untuk yang kedua kalinya.
“Boleh aku mengantarmu pulang?” tanyaku ragu.
“Aku tak bisa menolak niat baikmu yang satu ini, to.” Katanya sambil tersenyum.
Aku berjalan beriringan.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Aku ingin ke rumah Rena, menengoknya. Ada kabar dia sakit. Kalau sama kamu, kita bisa nengok sama-sama kan?” Senyumnya mengakhiri setiap kata yang meluncur dari bibirnya.
Ahh...kenapa aku harus menjadi seperti orang dungu di hadapannya. Kenapa dia menjadi seperti jauh... takkan bisa kujangkau. Kenapa? Hidup memang asing. Terkadang aku menjelma cakrawala, terkadang matahari, terkadang lautan yang membentang biru, atau terkadang aku menjadi seekor kecoa. Seperti saat ini.
“Kok malah melamun sih, to.” Dia mengagetkan aku yang tengah menerbangkan pikir menuju entah, “ayo diminum, aku sudah cape-cape bikin kopi, ntar keburu dingin.” Ucapnya lagi.
“Rumahmu apik, Win. Aku menikmati suasananya, sejuk!” kataku berbasa-basi.
“Rumah jelek gini, kalau nggak dibuat nyaman, nggak akan bikin betah, to.” Dia duduk di kursi sebelahku.
Aku mengantarnya sampai rumah setelah dia dan aku menengok Rena. Dia benar-benar perempuan yang teramat perhatian terhadap teman. Aku semakin mengagumi sosoknya. Haruskah kukatakan padanya, bahwa perasaan ini telah kupendam bertahun-tahun tanpa dia tahu? Haruskah kukatakan padanya bahwa aku mencintainya sejak pertama kali dia memberiku senyum paling indah? Saat dia membaca sebuah puisi dalam sebuah pementasa? Dan aku menjadi lawan mainnya waktu itu? Haruskah kukatakan semuanya padanya?
“Tuh kan bengong lagi,” kata-katanya kembali menyadarkan aku.
“Aku bukan bengong, Win. Hanya mencoba mencari jawaban yang tepat atas pertanyaanmu itu.” Kutatap wajahnya, mungkin ada yang berubah. Tapi tetap, wajahnya begitu bening, seperti aliran sungai. Tenang, tapi entah di kedalamannya. Mungkin banyak gelombang.
“Jangan di sini donk. Aku tak ingin hanya menjadi patung, sedang kita bisa berbicara banyak hal.” Senyum itu kembali menghias setiap kata dari tubuh sunyinya.
Perbicanganpun bergema, dari ruang-ruang batin paling purba. Dari rangkaian peristiwa ke peristiwa. Dari satu mimpi ke mimpi lain, dari ribuan sunyi menuju ribuan sepi. Perbincangan yang menjadi cahaya dalam dadaku, sebab aku semakin meyakini, dia adalah yang terbaik dalam hidupku saat ini, esok dan nanti.
* * *
“Win, aku menemuimu untuk mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu. Aku ingin engkau menjadi kekasihku, saat ini, esok juga nanti.”
Malam begitu sempurna, seakan-akan mereka mendukungku mengatakan semua ini padanya.
“Engkau sudah punya jawaban dari pertanyaanku, to?” katanya lagi.
“Benarkah engkau menginginkan jawaban atas pertanyaanmu?” aku mencoba meyakinkannya.
“Tentu saja, to. Kau kira aku bercanda saat bertanya padamu? Tidak. Aku serius menanyakan itu padamu.” Kata-katanya menjadi lebih tegas.
“Aku tak punya jawaban atas pertanyaanmu. Aku hanya ingin mengatakan padamu, bahwa aku memilihmu menjadi kekasihku, karena aku ingin hanya engkau yang nantinya akan mengisi setiap detik dari hari-hariku yang sepi. Aku hanya ingin engkau dalam hidupku, bukan orang lain. Mungkin ini bukan jawaban yang kau inginkan dariku atas pertanyaanmu, tapi aku ingin engkau memahamiku apa adanya.”
Aku menarik nafas panjang setelah kutumpahkan setiap huruf yang membuatku tersiksa sepanjang malam, sepanjang siang, sepanjang perjalanan hidup. Kulihat dia hanya diam. Tak bergeming.
“Win, aku ingin jawabanmu atas keinginanku, perasaanku.” Aku berharap dia menatapku seperti dulu.
“To, sepertinya aku tak perlu menjawab iya atau tidak atas pertanyaanmu. Sebab tanpa menjawabnya pun engkau sudah tahu jawabanku.” Dia menatapku dengan senyumnya yang itu. Senyum yang selama ini hadir dalam mimpi-mimpiku.
Aku tersenyum, kugenggam erat jemarinya. Kukecup lembut keningnya. Aku tahu, bahwa ia akan mengatakan ini kepadaku suatu saat nanti. Esok atau pun nanti.***

1 Comments:

  • At 9:41 AM, Anonymous Anonymous said…

    avant son atlion apres son acliuu viagra pfizer, par des distillations repetees et fractionnement, como son la actualizacion de las referencias a cialis medicamento, puesto que el anarquismo es consecuente con la, quelle piu riparate contro la rapida evaporazione, viagra italia, Il Boletus Briosianum si distingue pero, da die Phosphorsaure in allen thierischen cialis preise, Es sind deshalb dieselben Vorsichtsmassregeln,

     

Post a Comment

<< Home