cerita klasik

sebuah kisah akan selalu terulang dan terus terulang, mungkin kisah yang hadir disini sudah usang. tapi akan terus berulang pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang. selamat membaca!

January 07, 2003

LAKI-LAKI YANG MENCINTAI PISAU


Dia adalah anak kecemasan. Tangan kanannya senantiasa menggenggam sebilah pisau. Tak pernah seorang pun melihatnya tanpa pisau di tangan kanannya. Hidupnya melaju mengikuti arus waktu. Terkadang ia hanyut pada pusaran air kesedihan, wajahnya beku, lebih beku dari es batu. Terkadang ia juga terlempar pada batu-batu cemburu, riak wajahnya memerah, tangannya mengepal erat, menggenggam pisau di tangan kanannya.
Orang-orang memahami betul ketika wajahnya menegang, bersemu merah. Saat itulah, sebuah ritualisasi perkawinan tengah digelar. Sebab, anak kecemasan berubah menjadi iblis yang penuh dendam saat ada sebuah pesta pernikahan di sekitarnya. Ya, pesta pernikahan. Sejak pesta pernikahan tanggal 20 Agustus tiga tahun yang lalu, saat pisaunya yang itu dia gunakan untuk menentang semua orang. Anak kecemasan berusaha menggagalkan pesta dengan mengancam pengantin. Dengan pisaunya yang itu.
Anak kecemasan, tokoh kita kali ini. Mengeluarkan seluruh makian dari bibirnya yang mulai menghitam, memaki pengantin laki-laki. Pisau ditangan kanannya, yang tak pernah terlepas itu, dia acung-acungkan pada pengantin laki-laki. Dia mengancam untuk membunuh sang pengantin, siapa pun orangnya. Kebencan itu telah mengakar pada batinnya, menumbuhkan pohon dendam yang tumbuh subur pada tanah hatinya.
Mungkinkah dunia baginya hanyalah kesia-siaan saja? Atau mungkin bola mainan?
Ibunya pernah bertanya “kenapa tak kau simpan pisau itu, Nak?”, “untuk apa pisau itu bagimu?”, “biarkan Ibu memakai pisau itu untuk memasak!” dan banyak lagi yang dikatakan si Ibu pada anak. Tapi rupanya anak kecemasan sudah menjadi Malin Kundang. Ia tak pernah menggubris kata-kata sang Ibu.
Yang terjadi malah sebaliknya, anak kecemasan sudah kadung jatuh cinta dengan pisaunya. Kilatan cahaya dari pisaunya selalu membuatnya tertawa. Mencintai pisau, maka ia pun mencintai darah. Dia tak pernah membiarkan hewan-hewan hidup saat melintasinya. Tak ada kucing yang melintas, ia tangkap ayam milik bapaknya. Tak ada ayam, ia mencari burung, bebek, tikus dan yang lainnya, yang mampu mengeluarkan darah.
Tak ada hewan, ia tak kehilangan akal untuk mencium bau amis darah. Ia kerat telapak tangannya, jari-jari tangannya, ia lukai pergelangan tangannya, agar darah itu terus mengalir. Tetesan darah dari telapak tangannya ia jadikan tinta untuk melukis sebuah wajah, wajah seorang permpuan. Dewi Kesunyian, ia menyebutnya. Berlembar-lembar kertas penuh dengan darahnya, satu lembar kertas satu lukisan wajah. Masih dengan wajah yang sama. Wajah Dewi Kesunyian.
Biasanya, setelah itu. Ia akan termenung lama. Menekuri mahakaryanya dengan tatapan jauh menerawang. Dia mungkin kaget sekaligus bangga akan hasil goresan dari tinta darahnya. Lantas dia tersenyum sendiri. Dia gulung kertas-kertas yang menyimpan satu wajah itu dengan rapi. Ia ikat dengan pita hitam, lantas ia pergi dengan tergesa-gesa.
Dewi kesunyian, yang kini sudah bukan gadis remaja lagi, melainkan perempuan dewasa yang matang terkaget-kaget, menerima bingkisan dari seorang tukang pos. Ia terdiam lama, karena tak ada nama si pengirim pada bungkusan luarnya. “Mungkin didalam” pikirnya. Lantas ia masuk ke kamar, membuka bungkusan dengan perlahan.
“Mungkinkah ini dari suaminya?” pikirnya lagi. Sebab, sudah sebulan ini suaminya tak pulang, bertugas ke luar kota. Kota tempat masa remajanya ia habiskan. Kota tempatnya menyimpan kenangan tentang seorang lelaki yang pernah sangat dicintainya. Pernah? Bukankah saat ini pun ia masih mencintainya? Lantas kenapa ia menikah dengan laki-laki lain kalau ia masih mencintainya? Ya, kenapa?
Kilatan-kilatan masa lalu berkelebat dalam kepala Dewi Kesunyian. Dia ingat lagi, kenapa dia meninggalkan orang yang sangat dicintainya. Ia merasa tak cukup keberanian untuk menjadi seorang kekasih seorang seniman, penyair gendeng. Ia tak bisa memahami dunia-dunia absurditas milik kekasihnya itu. Ia ingin hidup di dunia nyata. Berpijak pada tanah realitas. Bukan hidup di dunia khayalan. Maka, dengan keterpaksaan, ia tinggalkan kekasihnya itu. Lalu menikah dengan seorang pegawai swasta dari sebuah perusahaan yang cukup ternama.
“Apa yang dikirim suaminya?” pikirnya ketika yang ia temukan hanya berupa lembaran-lembaran kertas dengan pita berwarna hitam. Matanya tiba-tiba terbelalak. Ia menjerit sekuat tenaganya. Ia melolong. Kertas yang tengah dipegangnya berjatuhan ke lantai. Kamarnya penuh dengan serakan-serakan kertas yang berisi lukisan wajah seorang perempuan. Perempuan yang bernama Dewi Kesunyian.
Dia memahami betul siapa yang telah mengirimkan gambar wajahnya pada setiap helai kertas itu, lukisan dengan tinta darah. Dia tahu, bukan suaminya yang telah mengirimkan lukisan itu kepadanya. Dia paham betul, apa yang akan terjadi setelah ini. Dewi kesunyian pernah membayangkan kejadian ini sebelum-sebelumnya, dan ia yakin akan terjadi entah kapan. Tapi ia tidak mengira hal ini terjadi begitu cepat. Secepat kilat menyambar. Dia paham betul, siapa orang yang telah ditinggalkannya dua tahun yang lalu. Dua tahun yang dibangun bersama suaminya belum apa-apa. Sampai saat ini, Dewi kesunyian belum dianugerahi keturunan.
“Sudah sampai waktunya!” geletar suara Dewi kesunyian dalam malam yang sepi. Hanya suara detak jam yang menemani kesendiriannya. Matanya tak bisa terpejam. Ada dorongan yang membuat matanya terus terbuka. Tak ada kantuk yang singgah dalam bola matanya yang kelam. Dia teringat suaminya.
Matahari muncul dari ufuk timur dengan cahayanya yang indah. Pagi mulai menggantikan malam. Waktu terus bergulir. Tapi Dewi kesunyian masih terdiam, duduk dalam kursinya yang beku. Dunia baginya tak pernah melaju. Dunia baginya kini hanyalah kata yang tak berarti, tak bermakna. Seperti keyakinannya tentang suaminya yang takkan mungkin kembali lagi.
Sebuah media massa memuat tentang sebuah mayat yang ditemukan dalam keadaan terpotong-potong.***

1 Comments:

Post a Comment

<< Home