cerita klasik

sebuah kisah akan selalu terulang dan terus terulang, mungkin kisah yang hadir disini sudah usang. tapi akan terus berulang pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang. selamat membaca!

April 29, 2003

FRIKA

“Hai…!” suaranya begitu nyaring.
“Apa kabar?” kataku penuh basa-basi.
“Baik. Kamu?” katanya lagi.
“Tak seperti yang kau bayangkan. Masih segarang padang pasirkah di Jatinangor sana?” tanyaku lagi.
“Haha… haha…! Tentu saja, apalagi di musim kemarau macam ini,” suaranya terdengar renyah.
“Kenapa tak membeli Unta? Bukankah unta hewan yang layak di tunggangi didaerah seperti itu?” ejekku.
“Ya. Disini memang banyak Unta, tapi unta-unta mekanik!” Dia berseru kencang, mengimbangi ejekanku.
Aku terdiam agak lama. Tak tahu apa yang harus kukatakan.
“Hallo… kau masih disanakan??” katanya.
“Ya. Aku disini,” suaraku melemah.
“Kenapa diam?” dia bertanya penuh keheranan.
“Aku… aku harus bicara apa?” kataku akhirnya.
“Heuheu…heuheu…Frika, haruskah engkau bertanya itu padaku?” tawanya terdengar jelas di telinga kananku. Horn telepon aku jauhkan.
“Entahlah…! Aku hanya terlalu behagia, bisa kembali mendengar suaramu.” Aku mencoba mengelak.
“Aku pun sama. Aku mencintaimu!” suaranya menjadi parau.
“Jangan kamu katakan itu” kataku tegas.
“kenapa? Kau tak mencintaiku lagi?” nada bicaranya mengeras.
“Bukan, bukan begitu.” Aku kaget mendengar reaksinya.
“Lalu apa?”
“Cinta bukan untuk dikatakan, Dala. Tapi dirasakan!”
“Tapi tak ada yang melarang kita untuk mengatakannya kan?” dia ngotot. Seperti hari-hari sebelumnya.
“Memang! Tapi, makna cinta menjadi kabur setelah kita mengucapkannya. Hanya dengan perasaan, cinta bisa kita selami.” Itulah kata-kata yang ingin kuucapkan kepadanya dari dulu.
“Kau benar. Namun sebuah ucapan akan lebih meyakinkan menurutku,” dia berkata dengan menggebu-gebu.
“Itu berarti kau tak memahami bahasa cinta. Paulo Coelho menyebutnya sebagai bahasa buana!” Aku berargumen.
“Hmmm…!” Terdengar jelas gumamannya,” Lalu bagaimana aku bisa tahu, kau juga mencintaiku?” selidiknya.
“Dengarkan isi hatimu, detak jantungmu, denyut nadimu, maka kau akan menemukan aku, karena aku telah bersatu dalam aliran darahmu.”
“Rumit!” Dia mendesah berat. Aku tahu, ada banyak beban dalam kepalanya.
“Tidak, Dala. Kau hanya belum mencoba!” aku berusaha menyemangatinya.
“Frika… aku hanya ingin, kau tahu bahwa aku…”
“Berhenti sampai disitu, Dala. Aku tak ingin mendengar kata-katamu untuk yang kedua kalinya!” aku setengah berteriak tertahan.
“Kenapa? Frika kau tak tahu, selama ini…”
“Dalaa… kalau kau masih berbicara tentang hal itu, aku akan menutup teleponnya” aku terpaksa mengancamnya.
“Jangan! Kumohon… Frik. Aku ingin mendengar suaramu, jangan tutup teleponnya please!” suaranya mengiba.
“Baiklah!” Aku mengalah.
Dia terdiam beberapa menit lamanya.
“Frika… aku ingin bertemu!” kembali suaranya jelas ditelingaku.
“Dala, aku tak bisa. Sekarang ini aku sibuk,” nada bicaraku penuh penyesalan.
“Frik! Kalau hanya begini, aku tak tahan. Aku ingin bertemu dan mengatakan kepadamu…”
“Dala! Tidak untuk saat ini,” suaraku bergetar.
“Tapi, Frik. Aku hanya ingin…”
Klek. Bunyi gagang telepon yang ditutup.
Dari pintu kamar mandi, muncuL Dudi dengan piyama biru tua favoritnya. Tersenyum, lalu menghampiri istrinya yang baru saja meletakan gagang telepon.
“Siapa?” tanya Dudi. Tangannya memeluk istrinya mesra.
“Mahasiswaku, yang dulu pernah kuceritakan padamu,” Istrinya tersenyum lembut.
“Yang stress di tinggal kekasihnya itu?” Dudi menatap istrinya dalam.
“Iya. Sampai detik inipun dia masih memanggilku Frika.” Istrinya kembali tersenyum, senyuman yang hambar.
“Aku juga akan gila kalau kau meninggalkanku…”
“Hentikan! Aku benci rayuanmu!” Istrinya berpaling.
“Kenapa?” Dudi mengerutkan dahi.
“Karena aku selalu termakan rayuanmu!” Istrinya memeluk Dudi erat.
“Aku mencintaimu, Vin!”***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home