cerita klasik

sebuah kisah akan selalu terulang dan terus terulang, mungkin kisah yang hadir disini sudah usang. tapi akan terus berulang pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang. selamat membaca!

March 31, 2005

OBITUARI BAGI PECINTA MATAHARI

Aku membaca tulisan seorang teman di sebuah milis. Dalam tulisannya dia berkata, BAGIKU CINTA TELAH MATI HARI INI. Mungkin untuk saat-saat seperti ini, aku akan sepakat dengan dia. Cinta tak layak hidup dalam jiwaku. Sebuah peristiwa telah membuatku merasa bahwa cinta hanya sesuatu yang terlihat main-main, dan diucapkan secara main-main oleh seorang laki-laki yang ingin bermain-main dengan mengatas-namakan cinta. Sungguh luar biasa.

Tiba-tiba aku teringat Nyai Ontosoroh. Perempuan yang sungguh luar biasa dalam karya tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Pada mulanya Nyai Ontosoroh membenci tuannya yang bernama Tuan Mellema, atas sikap yang memperbudak dirinya. Tapi apa yang dilakukan Tuannya telah membuatnya menjadi jatuh cinta. Walaupun akhirnya, Nyai Ontosoroh harus terluka melihat keadaan orang yang sangat dicintainya itu. Bagaimana perasaan Nyai Ontosoroh saat tahu bahwa Tuan Mellema seringkali berkunjung ke Rumah Pelesir? Tidakkah ia merasa sangat dikhianati? Tersakiti jiwanya? Terluka dan kecewa?

Tidak. Aku memang tidak seperti Nyai Ontosoroh. Aku mungkin lebih beruntung jika dibandingkan dengan dia. Tapi perasaan dikhianati, tersakiti, terluka dan kecewa yang dirasakan Nyai Ontosoroh sama dengan yang aku rasakan sekarang.

Semua terjadi begitu tiba-tiba. Aku dipaksa untuk percaya bahwa apa yang aku dengar itu benar adanya. Sebuah berita yang selama ini tak pernah terbayangkan akan aku dengar. Bukankah selama ini aku merasa bahwa kau adalah sebuah medan magnet yang membuatku harus berada di dekatmu senantiasa? Bahwa akulah perempuan yang menjadi bumi, sedang kau adalah matahari? Kita berada pada perputaran yang pasti, dan kaulah yang menerangi siangku, sedang rembulan membawakan cahayamu untuk tetap bisa menerangi hatiku? Sungguh! Berita itu membuatku merasa bahwa kehidupanku akan menjadi segelap malam.

Mungkin kau lupa, pertama kali kita kenal, kau senantiasa berkata, bahwa akulah senja, yang senantiasa kau temui dalam perpindahan waktu dari siang ke malam. Sungguh, pujian yang baru kurasakan sekarang bahwa itu hanyalah sebuah rayuan gombal.

Tapi baiklah, ini kurasa bukan waktu yang tepat untuk mengenang apa yang telah terjadi di antara kita. Karena ada hal yang lebih penting dari semua itu. Sebuah berita kematian. Ya, aku mendengar berita kematian itu. Semula terdengar begitu samar, lantas seiring waktu, kabar kematian itu semakin jelas, semakin tegas. Ya, benar sekali, kabar itu adalah kabar kematian atas cinta yang kita bangun. Sebuah perjalanan singkat yang terlalu menyayat.

Aku tahu, mengharapkanmu untuk memilih adalah kemustahilan. Sebab kau selalu merasa bahwa hatimu adalah lingkaran. Siapa pun boleh datang dalam hidupmu, lantas berbagi cerita, hingga cinta pun bisa kau bagi. Aku tahu diri untuk hal ini. Jadi, biarlah aku yang memutuskan untuk pergi. Melupakan apa yang telah terjadi. Melupakan seluruh peristiwa yang indah bersamamu. Mengembalikan lagi jarak. Semoga saja, saat aku bertemu lagi denganmu, aku merasa bahwa kau adalah kawan biasa.

Menyedihkan sebetulnya, apalagi berpikir aku akan menjauh darimu, orang yang kucintai. Meski sampai detik ini pun, aku tak pernah tahu, untuk siapakah cinta yang kau miliki itu sesungguhnya. Mungkin setelah ini, akan ada lubang yang menganga dalam dadaku, sebab namamu telah kulepas dengan paksa. Rasa kehilangan akan menerjangku dengan kekuatan yang sangat tinggi. Aku mungkin akan kalah, lantas terhempas, terseret terbawa arus, tenggelam atau bahkan hilang ditelan gelombang besar bernama: KEHILANGAN. Tapi bukankah lebih baik menghilang daripada harus tetap tegak dengan dada berlubang karena merasa diabaikan?

Ya, aku merasa hanya menjadi boneka mainanmu. Kapan pun kau menginginkanku, aku akan dengan senang hati menjadi budakmu. Aku perempuan, kodratku adalah menerima sebuah kata ajaib yang mampu memperkuat setiap kelemahan, yang mampu membuat dekat apa pun yang jauh, yang mampu membuat indah apa pun yang terlihat buruk. Tapi kini, kata ajaib itu telah merubah wujudnya. Aku melihatnya sebagai sebuah mimpi buruk belaka.

Hidup harus terus berjalan, tanpa atau pun denganmu. Kehilangan adalah hal yang lumrah dalam hidup. Luka yang menganga dalam dada itu mungkin takkan terobati dalam hitungan dua sampai tiga tahun, bahkan mungkin lebih, tapi aku telah menyiapkan semuanya. Telah kusiapkan perbekalan, peta baru, penunjuk arah, sebuah tenda, raincoat, senter dan segenggam keberanian. Ranselku telah sarat. Aku telah siap menghadapi jalan yang terbentang panjang di hadapan, menghadapi cuaca dan musim yang akan cepat berganti, menentang badai dan topan kehidupan. Tanpamu. Bagimu ini mungkin terdengar berlebihan.

Malam ini juga aku berangkat. Memulai peta perjalanan baru. Meninggalkan semua kenangan yang pernah tercatat dalam puisi-puisi cengeng, dalam catatan panjang kesedihan. Meninggalkan sayu matamu yang senantiasa membuatku merasakan sebuah keterasingan yang menenggelamkan. Aku akan pergi jauh. Mencoba mencari jalan baru agar kita tak pernah bertemu lagi dalam bentuk kebetulan sekali pun, kecuali jika tuhan menginginkan.

Tak ada kata perpisahan bagimu, sebab kita tak pernah benar-benar bertemu. Kita hanya bertemu secara lahir, sedang jiwa kita tetap berjalan berjauhan. Satu hal yang ingin aku katakan kepadamu dan tak pernah berhasil kukatakan sebelumnya, bahwa aku mencintaimu sepenuh hati, sepenuh jiwa. Andai saja tak ada kabar kematian itu, aku akan sangat percaya bahwa kau menginginkan aku, utuh.

Kepergian ini tak pernah terencana. Aku memutuskan semuanya tiba-tiba. Di tengah-tengah kebahagiaan kita atas sebuah mimpi bersama. Sebab sebetulnya, kau dan aku adalah sepasang manusia tangguh yang mampu melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang lain.

Jangan pernah menyesal atas kepergianku ini. Bukankah setiap orang bertemu untuk berpisah? Sejak Adam dan Hawa diciptakan, pertemuan dan perpisahan menjadi sebuah peristiwa yang sangat biasa. Atau mungkin memang kau takkan pernah menyesal, bahkan sebaliknya. Kau akan bahagia dan tertawa setelah kepergianku ini. Sebab setelah ini, tak akan ada lagi yang merengek minta dicintai. Tak ada lagi yang akan menyita sebagian besar waktumu. Tak ada lagi yang mencoba memaksamu untuk mengambil keputusan-keputusan sulit.

Telah kusiapkan semuanya malam ini. Ya, hanya malam ini waktuku untuk bersiap. Sebab nanti, tepat saat hari berganti dan tanggal telah bertambah satu, aku akan benar-benar menghilang dalam hidupmu. Aku tak akan mengambil jalan di tempat biasa kau melangkah.

Aku ingin mencumbu bibirmu untuk yang terakhir kalinya, menatap matamu lekat, dan membiarkan pelukanmu membuatku merasakan kedamaian yang sangat, tapi semua itu tidak aku lakukan.

Aku pergi untuk tsunami yang tengah memporak-porandakan seluruh batinku. Aku pergi untuk meredakan gempa yang datang bertubi-tubi menghancurkan gedung-gedung berhiaskan namamu dalam dadaku. Aku pergi untuk sebuah cinta yang tak bisa berwujud. Aku pergi untuk menata ulang semuanya. Membangun kembali peradaban dalam hati yang telah rusak dan lebur oleh amukan badai.

Terima kasih untuk hari-hari yang tak mungkin terjadi seandainya kita tak bertemu. Terima kasih untuk seluruh perhatian yang kau curahkan, meskipun aku tahu, itu hanyalah sebuah cinta yang semu. Terimakasih karena kau mengajariku arti cinta dan sakit. Sebuah sinergi yang membuatku hidup Namun semuanya telah meyakinkan aku, bahwa hidup memang indah untuk dilalui.

March 14, 2005

perjamuan luka

maaf, untuk beberapa waktu ke depan saya mungkin akan terlihat seperti seorang perempuan yang mengusung paham gender. bahwa saya adalah perempuan, tentu tak bisa dielakkan. tapi apakah saya penganut paham feminisme? masih harus dipertanyakan.

begini, saya berencana membunuh seorang laki-laki. dan mungkin, laki-laki itu adalah salah satu dari kalian. maka lebih baik, bacalah dengan teliti tulisan saya ini. jangan-jangan memang ada semacam tanda, yang menunjukkan bahwa laki-laki yang saya maksud adalah kamu. atau kamu. atau kamu.

di masa lalu, saya pernah bertemu dengan seorang laki-laki. dia membuat saya merasa, bahwa sayalah satu-satunya perempuan yang paling berbahagia di dunia ini. tapi kesimpulan itu hanya bertahan tidak lebih dari dua bulan. karena bulan ketiga, dia memutuskan untuk pergi. lari meninggalkan saya yang berurai airmata.

dari sanalah, saya belajar untuk terluka. dan dari sana juga, saya belajar untuk melukai. tahun demi tahun berjalan. saya terus saja memburu laki-laki untuk saya lukai. meski saya kadang-kadang merasa gagal. tapi selebihnya adalah kepuasan yang berlebihan. saya tertawa di atas duka para laki-laki. saya lari meninggalkan laki-laki demi laki-laki dengan luka yang menganga di dada mereka. walau saya yakin, luka yang saya buat tidaklah sedalam luka yang pernah saya rasakan.

hingga tibalah saya pada sebuah masa. saat ini. saya bertemu dengannya tepat ketika dunia saya terlampau sunyi. dan saya menemukan riuh yang menyegarkan di matanya. di bibirnya. di jiwanya. saya menemukan ombak badai di rambutnya. saya menemukan sebuah pertarungan di tubuhnya. saya berteriak gembira. dan diam-diam, saya menulis sebuah surat cinta.

untukmu,
seseorang yang menulis tuhan dengan huruf (t) kecil.


aku jatuh cinta padamu.
mungkin ini hanya bias semata.
sebuah kesimpulan yang terlalu cepat dibuat.
tapi aku harap, kau mau menerima cintaku.
terimalah cintaku ini dengan hidupmu yang beriak.
aku terlampau letih dalam kesunyian.

aku,
perempuan sunyi yang menikahi puisi.


begitulah saya tulis surat cinta padanya. saya tahu, dia akan menolak pernyataan cinta saya. tapi saya benar-benar tak peduli. cinta, membuat saya berani. beberapa hari setelah saya kirim surat itu, saya mendapat jawaban.

kalian tahu apa jawabannya?
mengerikan. dia menjawab, dia tidak mencintai saya. tapi jika saya mau, dia bisa membuat saya berbahagia. bukan dalam bentuk cinta. tapi bentuk lain, yang tak semua orang mau memberikannya. dan tentu saja, tak ada imbalan apa pun yang harus saya berikan padanya. artinya, dia memberikannya secara cuma-cuma. GRATIS.

hemm...
apakah pernah terpikirkan olehnya sebelum ini, bahwa saya tidak pernah menginginkan apa pun selain CINTA. saya tidak tahu. tapi saya sudah terlampau masuk, terjebak dalam permainannya. maka, bersenang-senanglah saya atas nama cinta. meski diam-diam saya menangis dalam hati. saya tetap tak bahagia.

malam ini, saya putuskan untuk membunuhnya. saya telah mengasah pisau yang saya ambil dari dapur milik ibu. saya menyembunyikannya di dalam tas tangan. lantas saya bikin perjanjian dengannya di sebuah tempat. besok, mungkin akan ada sebuah berita di koran-koran kota yang menceritakan bahwa telah ditemukan mayat lelaki dengan tubuh telanjang di sebuah kamar. dengan pisau dapur menancap di jantungnya.

ya, malam inilah saya akan membunuhnya. mungkin lima menit lagi dia akan datang. saya menulis semua ini, tepat saat saya menunggu kedatangannya.

sttt...
jika memang kamu adalah laki-laki yang saya maksud. mendekatlah. kita tuntaskan urusan kita sekarang. karena aku sudah lelah berpura-pura bahagia.

April 11, 2004

JALAN BUNTU TAK BERUJUNG
Sekedar Catatan Kegelisahan

Harapan itu kadang berwujud srigala. Menakutkan. Pernahkah kau menghadapi dua jalan yang bercabang? Lantas kau bingung menentukan kemana kakimu akan melangkah? Dunia ini terlalu mudah bagi mereka yang ditangannya kekuasaan, hukum dan perempuan bisa tunduk. Tapi laki-laki macam aku adalah laki-laki tanpa bekal apa pun kecuali hati. Apa hati bisa berkuasa? Masih butuh pembuktian.

Oh ya, kembali pada masalah awal. Di hadapanku kini dua jalan terbentang, dan tentu saja sangat menantang. Tapi kemana harus kubawa hati, satu-satunya bekal yang kupunya agar bisa bisa kubuktikan bahwa hati pun bisa berkuasa dalam rimba bernama hidup.

Oke, kujelaskan satu-satu. Jalan pertama adalah jalan yang memang tengah kurintis, tapi aku muak di tengah jalan dan memutuskan tidak berjalan lagi sampai datangnya sesuatu yang akan mendorongku untuk berjalan. Sesuatu itu pun belum jelas berbentuk apa. Jalan pertama itu adalah kuliahku di sebuah universitas negeri di bandung. Sayangnya, aku mengambil jurusan sastra Indonesia. Memuakkan bukan? Sangat memuakkan jika kau pernah atau tengah menjadi bagian di dalamnya. Setiap hari aku bergelut bersama ribuan kalimat, ribuan teori, ribuan novel, ribuan puisi, ribuan cerpen, ribuan kegilaan. Bagimu novel, cerpen atau puisi mungkin sangat menarik, bahkan terkesan menjadi obat kesuntukan dalam menjalani rutinitas. Tapi aku? Bisa kau bayangkan sendirilah kalau setiap saat hanya itu saja yang kau geluti, kau pun akan bosan dan muak, lantas mungkin membakar semua bukumu sambil memaki.

Jalan kedua adalah pekerjaan. Aku ditawari pekerjaan yang membuat adrenalinku terpacu. Menjadi wartawan. Ya, bukankah itu impianku? Menjadi wartawan sebuah Koran di Batam. Aku tertantang untuk memasuki
dunia ini. Jurnalistik. Tapi apa aku mampu? Itu masih tanda tanda tanya besar memang, dan semua itu akan terjawab seiring dengan waktu.

Lantas masalahnya dimana? Masalahnya terletak pada, apakah aku akan pergi ke Batam dan meninggalkan kuliahku di Bandung? Atau berpijak pada tujuan awal, kuliah? Kalau dua pertanyaan itu diajukan padaku, tentu aku akan menjawab pergi ke Batam. Tapi keluargaku? Mereka akan berpikir aku anak tak berbakti karena lari dari tanggung jawab sebagai anak. Apalagi keluargaku punya kepercayaan bahwa anak-anaknya haruslah mencapai taraf pendidikan minimal S1. Apalagi aku yang terlahir sebagai laki-laki. Pendidikan adalah hal utama dan pertama.

Semuanya menjadi begitu sulit. Dan inilah awal bencana itu. Setelah sekian lama aku mengikuti kehendak keluarga untuk kuliah (karena sejak awal aku memang sudah tidak tertarik), akhirnya kukhianati juga mereka. Diam-diam aku pergi. Menuju tempat ketika semuanya harus kembali menjadi nol lagi.

Apa yang terjadi di kota ini? Tak ada, selain bahwa aku bekerja itu lebih sulit daripada kuliah. Dan bekerja itu lebih menyiksa daripada mendengar omelan ibu. Pekerjaanku tak punya hari bernama libur. Setiap saat adalah mengejar berita. Dan kebetulan, asal kau tahu saja koranku ini Koran kriminal. Setiap hari aku berburu kematian. Semakin mengenaskan kematian, semakin laku koranku. Aku jadi kerap berdoa agar ada banyak kematian yang mengenaskan. Semakin banyak perampokan semakin subur berita yang kukumpulkan. Dan ini membuatku semakin menjadi pendoa yang gila.

Tiga bulan kujalani dengan semangat pejuang. Bahwa aku suka dengan pekerjaanku, itu sudah pasti. Tapi waktu yang kulewati semakin samar. Aku seperti lari di tempat. Setiap saat yang kulalui adalah sama. Pagi, datang ke kantor, menyiapkan konsep, terburu-buru pergi, mencari berita, wawancarai narasumber, mencatat hal-hal penting, balik ke kantor, menyusun laporan, pulang, tidur. Dan bersiap-siap bangun untuk mengerjakan hal yang sama itu lagi. Hari yang penuh pengulangan. Mungkin sebentar lagi aku gila. Aku tipe pembosan. Tiga bulan lewat dan di depanku adalah kuburan.

Lelaki tak boleh menyesal. Dan memang inilah hidup yang sesungguhnya bukan? Aku telah menjadi bagian dari mesin-mesin zaman yang bergerak dan digerakkan uang. Tak ada lagi hati. Sebab hati sudah pergi sejak kuputuskan untuk datang menyongsong hidup baru. Dunia baru.

Harapan itu mungkin tak lagi berwujud srigala. Tapi berwujud kematian. Tak ada yang harus dipertahankan sekarang ini. Sebab hati sudah lama pergi. Tak ada yang harus disesali, sebab cerita tak akan kembali. Inilah harapan yang sesungguhnya. Bisa hidup dan mungkin tertawa dalam jalan buntu yang tak berujung ini.