cerita klasik

sebuah kisah akan selalu terulang dan terus terulang, mungkin kisah yang hadir disini sudah usang. tapi akan terus berulang pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang. selamat membaca!

April 11, 2004

JALAN BUNTU TAK BERUJUNG
Sekedar Catatan Kegelisahan

Harapan itu kadang berwujud srigala. Menakutkan. Pernahkah kau menghadapi dua jalan yang bercabang? Lantas kau bingung menentukan kemana kakimu akan melangkah? Dunia ini terlalu mudah bagi mereka yang ditangannya kekuasaan, hukum dan perempuan bisa tunduk. Tapi laki-laki macam aku adalah laki-laki tanpa bekal apa pun kecuali hati. Apa hati bisa berkuasa? Masih butuh pembuktian.

Oh ya, kembali pada masalah awal. Di hadapanku kini dua jalan terbentang, dan tentu saja sangat menantang. Tapi kemana harus kubawa hati, satu-satunya bekal yang kupunya agar bisa bisa kubuktikan bahwa hati pun bisa berkuasa dalam rimba bernama hidup.

Oke, kujelaskan satu-satu. Jalan pertama adalah jalan yang memang tengah kurintis, tapi aku muak di tengah jalan dan memutuskan tidak berjalan lagi sampai datangnya sesuatu yang akan mendorongku untuk berjalan. Sesuatu itu pun belum jelas berbentuk apa. Jalan pertama itu adalah kuliahku di sebuah universitas negeri di bandung. Sayangnya, aku mengambil jurusan sastra Indonesia. Memuakkan bukan? Sangat memuakkan jika kau pernah atau tengah menjadi bagian di dalamnya. Setiap hari aku bergelut bersama ribuan kalimat, ribuan teori, ribuan novel, ribuan puisi, ribuan cerpen, ribuan kegilaan. Bagimu novel, cerpen atau puisi mungkin sangat menarik, bahkan terkesan menjadi obat kesuntukan dalam menjalani rutinitas. Tapi aku? Bisa kau bayangkan sendirilah kalau setiap saat hanya itu saja yang kau geluti, kau pun akan bosan dan muak, lantas mungkin membakar semua bukumu sambil memaki.

Jalan kedua adalah pekerjaan. Aku ditawari pekerjaan yang membuat adrenalinku terpacu. Menjadi wartawan. Ya, bukankah itu impianku? Menjadi wartawan sebuah Koran di Batam. Aku tertantang untuk memasuki
dunia ini. Jurnalistik. Tapi apa aku mampu? Itu masih tanda tanda tanya besar memang, dan semua itu akan terjawab seiring dengan waktu.

Lantas masalahnya dimana? Masalahnya terletak pada, apakah aku akan pergi ke Batam dan meninggalkan kuliahku di Bandung? Atau berpijak pada tujuan awal, kuliah? Kalau dua pertanyaan itu diajukan padaku, tentu aku akan menjawab pergi ke Batam. Tapi keluargaku? Mereka akan berpikir aku anak tak berbakti karena lari dari tanggung jawab sebagai anak. Apalagi keluargaku punya kepercayaan bahwa anak-anaknya haruslah mencapai taraf pendidikan minimal S1. Apalagi aku yang terlahir sebagai laki-laki. Pendidikan adalah hal utama dan pertama.

Semuanya menjadi begitu sulit. Dan inilah awal bencana itu. Setelah sekian lama aku mengikuti kehendak keluarga untuk kuliah (karena sejak awal aku memang sudah tidak tertarik), akhirnya kukhianati juga mereka. Diam-diam aku pergi. Menuju tempat ketika semuanya harus kembali menjadi nol lagi.

Apa yang terjadi di kota ini? Tak ada, selain bahwa aku bekerja itu lebih sulit daripada kuliah. Dan bekerja itu lebih menyiksa daripada mendengar omelan ibu. Pekerjaanku tak punya hari bernama libur. Setiap saat adalah mengejar berita. Dan kebetulan, asal kau tahu saja koranku ini Koran kriminal. Setiap hari aku berburu kematian. Semakin mengenaskan kematian, semakin laku koranku. Aku jadi kerap berdoa agar ada banyak kematian yang mengenaskan. Semakin banyak perampokan semakin subur berita yang kukumpulkan. Dan ini membuatku semakin menjadi pendoa yang gila.

Tiga bulan kujalani dengan semangat pejuang. Bahwa aku suka dengan pekerjaanku, itu sudah pasti. Tapi waktu yang kulewati semakin samar. Aku seperti lari di tempat. Setiap saat yang kulalui adalah sama. Pagi, datang ke kantor, menyiapkan konsep, terburu-buru pergi, mencari berita, wawancarai narasumber, mencatat hal-hal penting, balik ke kantor, menyusun laporan, pulang, tidur. Dan bersiap-siap bangun untuk mengerjakan hal yang sama itu lagi. Hari yang penuh pengulangan. Mungkin sebentar lagi aku gila. Aku tipe pembosan. Tiga bulan lewat dan di depanku adalah kuburan.

Lelaki tak boleh menyesal. Dan memang inilah hidup yang sesungguhnya bukan? Aku telah menjadi bagian dari mesin-mesin zaman yang bergerak dan digerakkan uang. Tak ada lagi hati. Sebab hati sudah pergi sejak kuputuskan untuk datang menyongsong hidup baru. Dunia baru.

Harapan itu mungkin tak lagi berwujud srigala. Tapi berwujud kematian. Tak ada yang harus dipertahankan sekarang ini. Sebab hati sudah lama pergi. Tak ada yang harus disesali, sebab cerita tak akan kembali. Inilah harapan yang sesungguhnya. Bisa hidup dan mungkin tertawa dalam jalan buntu yang tak berujung ini.