cerita klasik

sebuah kisah akan selalu terulang dan terus terulang, mungkin kisah yang hadir disini sudah usang. tapi akan terus berulang pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang. selamat membaca!

April 29, 2003

SURAT CINTA DARI MASA LALU

Yarus, aku tahu kau baik-baik saja. Aku bukan Tuhan tetapi aku mampu merasakannya. Dari tulisanmu, puisimu, cerpenmu, aku tahu. Masih ingatkah engkau? Kau pernah mengejek keinginan dan cita-citaku dulu. Kau mungkin benar, tapi itu hanya sepersekian persen saja.
Yarus, kini aku punya butik yang cukup lumayan, semua itu aku dapatkan dari jualan kecil-kecilan. Dari seorang teman ke teman lainnya. Sekarang aku mempekerjakan enam orang pegawai pada setiap cabangnya. Sedang butikku sudah hampir mencapai tiga cabang di setiap kota.
Yarus, aku yakin kau lebih berhasil dibandingkan denganku saat ini, aku tahu itu. Kini kau sudah menjadi seorang penulis yang tengah dikagumi pembaca di seluruh nusantara. Bukankah itu cita-citamu?
“Narita, suatu hari nanti dengan pena ini akan aku kuasai dunia!” kata-kata itu masih terngiang di telingaku, sepertinya baru tadi pagi kau katakan itu padaku. “Narita, tunggulah pada saatnya nanti, dunia akan tunduk atas perintahku!” itu yang selalu kuingat tentang cita-cita dan keinginanmu.
Yarus, aku sangat bangga memiliki teman sepertimu. Kau mampu mengajarkan aku untuk memandang hidup lebih bijaksana. Kau sering berkata bahwa kita harus mampu menjadi orang kaya saat kita tak memiliki satu apapun, dan kita harus mampu menjadi miskin saat kita dalam keadaan kaya, itulah yang sering aku ingat hingga menjadikan aku seperti sekarang ini. Terima kasih!
Yarus, aku ingin sekali mendengar kisah hidupmu saat ini, dari bibirmu sendiri, dari lidahmu sendiri, seperti tahun-tahun yang lalu yang telah kita lalui bersama. Setahun sudah kau tak membalas surat-suratku, emailku pun tak satu pun kau reply. Aku jadi ragu, jangan-jangan kau sudah melupakan aku. Yarus, aku mohon kau membalas suratku ini.


Kutatap deretan huruf-huruf yang sudah sangat kuhapal siapa yang menulisnya. Kini, genaplah suratnya 15. Tak ada satu pun yang aku balas, tapi dia tak juga kecewa. Entahlah… setahun terakhir ini aku tak ingin membaca suratnya lagi, bagaimana aku mampu membalasnya? Hanya suratnya yang kelima belas ini membuatku merasa kasihan, atau sebenarnya aku tengah mengasihani diriku sendiri? Aku tak tahu!
Kusobek kertas dari sebuah buku di atas meja. Aku berniat membalasnya, mungkin.

Narita, maafkan aku yang tak pernah lagi membalas surat-suratmu. Kau salah, Nar. Aku kini tengah sakit. Secara jasmani, tak ada orang yang mengatakan bahwa aku sedang sakit, dokter sekalipun. Tapi ruhani, aku tak tahu. Mungkin aku sekarat.
Narita, apa yang kau maknai lewat tulisanku di mass media ternyata membuatmu meyakini bahwa aku baik-baik saja. Namun kalau saja kau melihat keadaanku yang sebenarnya, kau akan menyesal telah berkata seperti itu.
Narita, aku seorang pesakitan. Seorang pecundang yang kalah dalam sebuah peperangan. Jiwaku sakit, teramat sakit hingga aku tak mampu untuk bangkit. Sebentar lagi aku akan mati, Nar.
Narita, engkau adalah sahabatku di masa lalu, kini dan masa yang akan datang. Untuk itu, akan kukatakan segala yang terjadi tentangku saat ini. Hidupku buntu, Nar. Ada semacam kebosanan pada hidup yang tengah kujalani. Semuanya terasa monoton untuk beberapa tahun ini.
Narita, kau pun mungkin pernah membaca diantara surat-surat yang kukirimkan. Dalam surat itu aku menulis, “Nar, saat ini puisi-puisiku semakin tak berarti, cerpen-cerpenku tak sebaik dulu.” Berawal dari sanalah, aku selalu dihantui kecemasan. Padahal sebelumnya yang kurasakan saat menulis puisi adalah saa-saat yang terindah dalam hidupku. Tetapi saat ini, menulis puisi bagiku adalah siksaan yang teramat pedih. Satu kata yang kutulis kurasakan beribu cambukan di kepala.
Narita, aku merasa telah menjadi budak-budak kata-kata. Kini, aku tak lagi menjadi penguasa kata. Kata-kata yang kubuat telah menjadi berhala. Beribu penyesalan berkecamuk dalam batinku. Nuraniku meronta, ia ingin bebas. Sedang aku? Aku harus berhadapan dengan realitas, Nar! Aku harus makan. Narita, kau pun telah menyadarinya lebih awal. Aku tak mungkin sarapan puisi, makan siang dengan cerpen lalu makan malam dengan lembaran-lembaran novel. Sayang Nar, dulu aku tak memahami apa yang kau maksudkan.
Narita, aku tersiksa. Meskipun orang-orang disekitarku mengatakan apa yang kulakukan saat ini adalah wajar. Membuat apa yang diinginkan oleh seorang pembaca, seorang redaktur tak akan membuat kita berdosa. Karya-karya yang terlahir pun tak akan protes. Itu yang sering mereka katakan saat aku menyesali apa yang terjadi.
Tapi, Nar. Nuraniku tak bisa kubohongi. Identitasku hilang, Nar. Aku sebenarnya tak ada. Dan sekarang, yang menulis surat untukmu ini, bukan lagi Yarus yang dulu.
Narita, aku sekarat!
Narita, mungkin ka telah membaca karya-karyaku akhir-akhir ini di beberapa media. Itulah karya terakhirku. Aku tak bisa hidup terus-terusan seperti ini, Nar.
Aku menyesal tak menikahimu saat itu, padahal kau telah mampu meyakinkan kedua orang tuamu tentang kehidupanku dan kondisiku saat itu. Aku memang egois, Nar. Aku tak ingin kau menderita dengan kehidupanku yang seperti ini. Kadang aku membayangkan, seandainya kau menikah denganku , sepertinya cita-cita kita akan berhasil, Nar! Dengan usaha butikmu, aku dan kau bisa makan. Sedang aku, aku takkan lagi berpikir tentang karyaku yang mungkin jelek dihadapan redaktur. Aku takkan kehilangan jati diri dan identitasku yang dulu. Dan yang terpenting, aku takkan kehilanganmu. Sayang Nar, pikiran itu tak muncul dulu. Ya, selalu saja sama, penyesalan selalu datang terlambat.
Narita, inilah balasan suratku. Ini pula yang akan menjadi surat terakhirku untukmu. Mulai detik ini, anggap saja aku telah mati. Jangan pernah bermimpi kau akan melihat namaku lagi terpampang di beberapa media massa.
Narita, kau akan menjadi orang terakhir yang membaca tulisanku.
Oh ya, Nar. Aku hampir saja melupakan keluargamu. Apa kabarnya Yarus kecilmu? Aku takkan pernah lupa saat kau mengunjungiku bersama suamimu untuk meminta izin mengambil namaku sebagai nama anakmu. Mengingat itu semua, aku selalu tertawa nanar. Wajahmu kembali berkelebat dalam memoriku. Salam hormatku untuk suamimu tercinta, aku selalu bermimpi bisa mengalahkannya dalam catur.
Narita, aku mencintaimu! Seperti juga engkau mencintaiku. Kau, takkan pernah lekang dalam ingatanku. Maafkan aku, seandainya ada banyak kata yang membuatmu terluka.
Yarusmu.


Lega rasanya setelah kutuangkan kata demi kata yang kutulis untuknya. Setelah kubaca sekali lagi dan meyakinkan bahwa semuanya tak ada kesalahan, kulipat kerta itu lalu memasukannya ke dalam amplop. Mungkin baru besok akan kukirimkan.
Mulai besok, akan kulupakan segala cita-cita yang pernah ada. Besok, akan kumulai hidup baruku. Seorang teman telah menawari aku untuk membantunya di sebuah bengkel tempat dia bekerja.
“Narita, tak ada lagi mimpi di siang hari!”***
KETIKA SETANGKAI MELATI MEREKAH DI ATAS SAHARA

Aku punya pandangan lain tentang laki-laki pada awalnya.
“Dimana-mana laki-laki memang sama. Bajingan!” itu yang di ucapkan temanku saat dia merasa kekasihnya mengkhianati. Tapi saat itu, aku cukup banyak argumen untuk membantahnya.
“Tidak semua laki-laki seperti itu. Itu hanyalah yang kau temui. Tapi di luar sana, masih banyak laki-laki yang lebih baik,” kataku.
“kau sih belum mengalami nasib sepertiku. Coba kalau sudah, kau pun akan berpandangan sama sepertiku,” katanya lagi.
Dia mamang sedang merasakan sakit yang teramat sangat. Bagaimana tidak sakit, melihat kekasih bermesraan dengan sahabatnya sendiri di depan mata kepalanya.
“kau jangan memukul rata semua laki-laki! Aku yakin, dari sepuluh laki-laki paling 1/3 yang seperti kekasihmu itu!” Aku membantahnya lagi.
“Gila!” dia mebelalakan matanya, “justru dari 100 laki-laki paling banter hanya ada satu laki-laki yang baik dan patut kita cintai sepenuh hati,” dia hampir-hampir berteriak.
Aku memang menutup mata. Sering aku menyaksikan kegilaan laki-laki ketika dia menjadikan perempuan sebagai objek penderita. Aku banyak melihat bagaimana seorang laki-laki sedang mengkurang ajari perempuannya. Tapi itu tak merubah pandanganku tentang laki-laki. Bagaimanapun, sampai detik ini aku tak pernah mendapat perlakuan yang “aheng” dari semua laki-laki teman dekatku.
Jadi, kupikir kesalahan ada pada perempuan. Mereka tak bisa menghargai kedudukan laki-laki, hingga dia merasa gerah di dampingi seorang perempuan.
Itu pandanganku dua tahun yang lalu. Kini?
Kini mataku tebuka lebar-lebar. Aku bisa mamandang lebih jernih. Pandanganku dulu memang ditutup kabut. Kabut yang tebal oleh sikap manis teman laki-lakiku. Kedok mereka sudah terbuka sekarang. Dua tahun lamanya aku meneLan kepahitan dari makhluk yang namanya laki-laki.
Pertama-tama, Ben. Dia kekasih pertama dalam hidupku. Hubungan kami sudah cukup lama, hampir satu tahun. Tapi, tiba-tiba kedoknya terbuka saat ulang tahunku tiba. saat itu, dia membawaku jauh dari rumah. Aku tentu senang bisa menghabisakan hari bersamanya. ”hadiah ulang tahun yang istimewa” pikirku saat itu.
Tapi kebahagianku berakhir ketika dia tiba-tiba menyergap tubuhku dan menjatuhkanku ke lantai. Kami bergumul. Dia bergumul karena nafsu binatangnya, sedang aku bergumul untuk menjaga kesucianku. Aku berhasil lari dari iblis itu dengan loncat dari jendela.
Kekasih keduaku bernama Val. Dia seorang mahasiswa yang percaya mistik. Aku tertarik padanya karena imajinasinya yang liar dan membara tentang dunia lain di luar dunia kita saat ini. Tiga bulan hubunganku dengannya berjalan mulus. Sampai muncul sifat aslinya. Ya. Dia tertarik dengan perempuan lain yang lebih menarik. Aku tak mungkin mencegahnya. Tokh itu hak dia sebagai manusia. Akhirnya kulepaskan dia dengan mencoba untuk tulus. Tulus???
Choki lain lagi. Dia lebih gila dari kedua laki-laki sebelum ini. Jujur saja, mulanya aku tak menaruh hati sedikitpun padanya, tapi kerja kerasnya membuatku simpatik. Setiap hari, dia setia mengirimkan sebuah puisi, coklat dan setangkai mawar. Berawal dari sana, ada semacam magnet yang menjadikan aku tertarik ke kutubnya. Sebulan memang waktu yang singkat untuk sebuah hubungan. Tapi, memang itulah laki-laki. Dia cepat merasa bosan. Aku di tendangnya jauh, ketika sedikit saja kesalahan aku perbuat.
“Tak ada kata maaf bagimu!” katanya, saat ia tahu aku tengah didekati seorang laki-laki lain. Pelan-pelan tapi pasti, tertanam semacam keyakinan dalam diriku, bahwa tak ada laki-laki yang tulus mencintai seorang perempuan selain ibu mereka sendiri.
Selain Choki masih ada Mavic, Metan, Milan, Jogie, Akva dan beberapa nama yang hanya melintas sejenak dalam hidupku tapi menyisakan torehan luka yang cukup besar.
Dua tahun setelah hidupku tanpa mahluk yang bernama laki-laki. Mata hatiku terbuka sudah. Hidup bahagia tak harus dengan laki-laki bukan???
Kini, ketika kerinduan akan laki-laki menyergapku. Aku mencoba untuk mengalahkannya. Saatnya memutar kendali. Aku tak harus bergantung pada nasib. Dulu, aku memang mengalir mengikuti arus. Kemanapun nasib membawaku kesanalah aku lari. Tapi untuk saat ini, akulah penentu nasib bagi diriku sendiri.
Setelah dua tahun berlalu, aku mampu menemukan laki-laki yang kuanggap bisa mewujudkan impian bersama ke arah masa depan. Tak Lagi mengalir, tapi inilah saatnya mewujudkan impian.
Seluruh keluargaku bahagia saat aku memberitahu bahwa seseorang akan melamarku malam ini. Ya, keluargaku yang selama dua tahun terakhir ini tak pernah lagi mendapati tamu laki-laki untukku merasa khawatir, aku terus larut dalam kesedihan. Kulihat, wajah mereka berseri-seri membayangkan anak tunggalnya bahagia. Aku bahagia melihat kebahagian mereka.
“Jam berapa arjunamu itu datang, Nduk? Bapak bertanya, masih dengan tembakau ditangannya.
“Mungkin tujuh atau delapan, Pak.”
“Kok mungkin sih?” Ibu menyahut dari dapur. Dia tengah menyiapkan panganan untuk nanti malam bersama si Mbok.
“Iya, kan Ibu tahu sendiri, jalanan jam begitu mana ada yang lancar. Dimana-mana macet, Bu!” Aku menjelaskan..
“O, iya. Siapa nama Arjunamu itu ?” Nada suara Ibu lebih lantang, Ibu sepertinya takut aku sudah masuk ke kamar.
“Erghian, Bu.” Aku menjawab sambil berlalu menuju kamar.
***
Jam menunjukan 07:15 WIB saat terdengar ketukan dari pintu. Ibu dan Bapak yang sudah gelisah dari tadi berdiri bersamaan. Mereka saling bertatapan.
“Biar Bapakmu yang buka,” Ibu berkata saat melihatku hendak berjalan menuju pintu.
“Tak usah, Bu. Biar aku saja. Ibu dan Bapak tunggu aja disini.” Aku cepat menimpali. Mereka duduk kembali.
Aku membuka pintu. Disana sebuah wajah sudah menatapku dengan senyumnya yang begitu kharismatik. Aku pun tersenyum. Kugenggam tangannya. Setelah menutup pintu, aku bergandengan tangan menuju ruang tamu. Dimana kedua orang tuaku duduk menanti.
Langkah kami berhenti di depan mereka berdua. Mereka serentak berdiri. Mata mereka melongo, saat menatap Erghian yang berdiri tegap di sampingku. Mereka masih melongo saat aku berbicara memperkenalkannya.
“Ibu, Bapak. Ini lho Mas Erghian. Dia datang untuk melamarku,” kataku mantap. Aku sempat melirik dengan sudut mataku kearahnya, dia tersenyum. Senyum yang masih kharismatik.
“Malam Pak, Bu. Kenalkan nama saya Erghiana Maryani. Saya kekasih Wulan! Saya datang…” belum selesai Erghian berbicara, tiba-tiba Bapak berteriak.
“Apa maksud semua ini, Wulan!” Bapak berteriak dengan mukanya yang merah padam karena menahan amarah.
“Tidak ada maksud lain, Pak! Aku mencintainya dan dia mencintaiku. Aku memilihnya bukan karena aku tak mampu untuk mendapatkan yang lebih baik. Aku memilihnya karena aku ingin memilihnya. Lalu kami akan menikah dan bahagia!”
Aku tengadah, menentang wajah Bapak yang bersemu merah. Ibu kulihat hanya melongo saja.
Erghian memelukku. Aku merapat ketubuhnya, kami berhadapan. Saling menatap. Dia menatapku penuh rindu. Dia menyegap bibirku dengan bibirnya. Kami berciuman di depan mereka.
Ibu terjatuh tiba-tiba. Ia pingsan. Masih kudengar ucapan terakhirnya dengan suaranya yang parau, “Tapi dia perempuan, Wulan”***
FRIKA

“Hai…!” suaranya begitu nyaring.
“Apa kabar?” kataku penuh basa-basi.
“Baik. Kamu?” katanya lagi.
“Tak seperti yang kau bayangkan. Masih segarang padang pasirkah di Jatinangor sana?” tanyaku lagi.
“Haha… haha…! Tentu saja, apalagi di musim kemarau macam ini,” suaranya terdengar renyah.
“Kenapa tak membeli Unta? Bukankah unta hewan yang layak di tunggangi didaerah seperti itu?” ejekku.
“Ya. Disini memang banyak Unta, tapi unta-unta mekanik!” Dia berseru kencang, mengimbangi ejekanku.
Aku terdiam agak lama. Tak tahu apa yang harus kukatakan.
“Hallo… kau masih disanakan??” katanya.
“Ya. Aku disini,” suaraku melemah.
“Kenapa diam?” dia bertanya penuh keheranan.
“Aku… aku harus bicara apa?” kataku akhirnya.
“Heuheu…heuheu…Frika, haruskah engkau bertanya itu padaku?” tawanya terdengar jelas di telinga kananku. Horn telepon aku jauhkan.
“Entahlah…! Aku hanya terlalu behagia, bisa kembali mendengar suaramu.” Aku mencoba mengelak.
“Aku pun sama. Aku mencintaimu!” suaranya menjadi parau.
“Jangan kamu katakan itu” kataku tegas.
“kenapa? Kau tak mencintaiku lagi?” nada bicaranya mengeras.
“Bukan, bukan begitu.” Aku kaget mendengar reaksinya.
“Lalu apa?”
“Cinta bukan untuk dikatakan, Dala. Tapi dirasakan!”
“Tapi tak ada yang melarang kita untuk mengatakannya kan?” dia ngotot. Seperti hari-hari sebelumnya.
“Memang! Tapi, makna cinta menjadi kabur setelah kita mengucapkannya. Hanya dengan perasaan, cinta bisa kita selami.” Itulah kata-kata yang ingin kuucapkan kepadanya dari dulu.
“Kau benar. Namun sebuah ucapan akan lebih meyakinkan menurutku,” dia berkata dengan menggebu-gebu.
“Itu berarti kau tak memahami bahasa cinta. Paulo Coelho menyebutnya sebagai bahasa buana!” Aku berargumen.
“Hmmm…!” Terdengar jelas gumamannya,” Lalu bagaimana aku bisa tahu, kau juga mencintaiku?” selidiknya.
“Dengarkan isi hatimu, detak jantungmu, denyut nadimu, maka kau akan menemukan aku, karena aku telah bersatu dalam aliran darahmu.”
“Rumit!” Dia mendesah berat. Aku tahu, ada banyak beban dalam kepalanya.
“Tidak, Dala. Kau hanya belum mencoba!” aku berusaha menyemangatinya.
“Frika… aku hanya ingin, kau tahu bahwa aku…”
“Berhenti sampai disitu, Dala. Aku tak ingin mendengar kata-katamu untuk yang kedua kalinya!” aku setengah berteriak tertahan.
“Kenapa? Frika kau tak tahu, selama ini…”
“Dalaa… kalau kau masih berbicara tentang hal itu, aku akan menutup teleponnya” aku terpaksa mengancamnya.
“Jangan! Kumohon… Frik. Aku ingin mendengar suaramu, jangan tutup teleponnya please!” suaranya mengiba.
“Baiklah!” Aku mengalah.
Dia terdiam beberapa menit lamanya.
“Frika… aku ingin bertemu!” kembali suaranya jelas ditelingaku.
“Dala, aku tak bisa. Sekarang ini aku sibuk,” nada bicaraku penuh penyesalan.
“Frik! Kalau hanya begini, aku tak tahan. Aku ingin bertemu dan mengatakan kepadamu…”
“Dala! Tidak untuk saat ini,” suaraku bergetar.
“Tapi, Frik. Aku hanya ingin…”
Klek. Bunyi gagang telepon yang ditutup.
Dari pintu kamar mandi, muncuL Dudi dengan piyama biru tua favoritnya. Tersenyum, lalu menghampiri istrinya yang baru saja meletakan gagang telepon.
“Siapa?” tanya Dudi. Tangannya memeluk istrinya mesra.
“Mahasiswaku, yang dulu pernah kuceritakan padamu,” Istrinya tersenyum lembut.
“Yang stress di tinggal kekasihnya itu?” Dudi menatap istrinya dalam.
“Iya. Sampai detik inipun dia masih memanggilku Frika.” Istrinya kembali tersenyum, senyuman yang hambar.
“Aku juga akan gila kalau kau meninggalkanku…”
“Hentikan! Aku benci rayuanmu!” Istrinya berpaling.
“Kenapa?” Dudi mengerutkan dahi.
“Karena aku selalu termakan rayuanmu!” Istrinya memeluk Dudi erat.
“Aku mencintaimu, Vin!”***