cerita klasik

sebuah kisah akan selalu terulang dan terus terulang, mungkin kisah yang hadir disini sudah usang. tapi akan terus berulang pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang. selamat membaca!

January 07, 2003

LAKI-LAKI YANG MENCINTAI PISAU


Dia adalah anak kecemasan. Tangan kanannya senantiasa menggenggam sebilah pisau. Tak pernah seorang pun melihatnya tanpa pisau di tangan kanannya. Hidupnya melaju mengikuti arus waktu. Terkadang ia hanyut pada pusaran air kesedihan, wajahnya beku, lebih beku dari es batu. Terkadang ia juga terlempar pada batu-batu cemburu, riak wajahnya memerah, tangannya mengepal erat, menggenggam pisau di tangan kanannya.
Orang-orang memahami betul ketika wajahnya menegang, bersemu merah. Saat itulah, sebuah ritualisasi perkawinan tengah digelar. Sebab, anak kecemasan berubah menjadi iblis yang penuh dendam saat ada sebuah pesta pernikahan di sekitarnya. Ya, pesta pernikahan. Sejak pesta pernikahan tanggal 20 Agustus tiga tahun yang lalu, saat pisaunya yang itu dia gunakan untuk menentang semua orang. Anak kecemasan berusaha menggagalkan pesta dengan mengancam pengantin. Dengan pisaunya yang itu.
Anak kecemasan, tokoh kita kali ini. Mengeluarkan seluruh makian dari bibirnya yang mulai menghitam, memaki pengantin laki-laki. Pisau ditangan kanannya, yang tak pernah terlepas itu, dia acung-acungkan pada pengantin laki-laki. Dia mengancam untuk membunuh sang pengantin, siapa pun orangnya. Kebencan itu telah mengakar pada batinnya, menumbuhkan pohon dendam yang tumbuh subur pada tanah hatinya.
Mungkinkah dunia baginya hanyalah kesia-siaan saja? Atau mungkin bola mainan?
Ibunya pernah bertanya “kenapa tak kau simpan pisau itu, Nak?”, “untuk apa pisau itu bagimu?”, “biarkan Ibu memakai pisau itu untuk memasak!” dan banyak lagi yang dikatakan si Ibu pada anak. Tapi rupanya anak kecemasan sudah menjadi Malin Kundang. Ia tak pernah menggubris kata-kata sang Ibu.
Yang terjadi malah sebaliknya, anak kecemasan sudah kadung jatuh cinta dengan pisaunya. Kilatan cahaya dari pisaunya selalu membuatnya tertawa. Mencintai pisau, maka ia pun mencintai darah. Dia tak pernah membiarkan hewan-hewan hidup saat melintasinya. Tak ada kucing yang melintas, ia tangkap ayam milik bapaknya. Tak ada ayam, ia mencari burung, bebek, tikus dan yang lainnya, yang mampu mengeluarkan darah.
Tak ada hewan, ia tak kehilangan akal untuk mencium bau amis darah. Ia kerat telapak tangannya, jari-jari tangannya, ia lukai pergelangan tangannya, agar darah itu terus mengalir. Tetesan darah dari telapak tangannya ia jadikan tinta untuk melukis sebuah wajah, wajah seorang permpuan. Dewi Kesunyian, ia menyebutnya. Berlembar-lembar kertas penuh dengan darahnya, satu lembar kertas satu lukisan wajah. Masih dengan wajah yang sama. Wajah Dewi Kesunyian.
Biasanya, setelah itu. Ia akan termenung lama. Menekuri mahakaryanya dengan tatapan jauh menerawang. Dia mungkin kaget sekaligus bangga akan hasil goresan dari tinta darahnya. Lantas dia tersenyum sendiri. Dia gulung kertas-kertas yang menyimpan satu wajah itu dengan rapi. Ia ikat dengan pita hitam, lantas ia pergi dengan tergesa-gesa.
Dewi kesunyian, yang kini sudah bukan gadis remaja lagi, melainkan perempuan dewasa yang matang terkaget-kaget, menerima bingkisan dari seorang tukang pos. Ia terdiam lama, karena tak ada nama si pengirim pada bungkusan luarnya. “Mungkin didalam” pikirnya. Lantas ia masuk ke kamar, membuka bungkusan dengan perlahan.
“Mungkinkah ini dari suaminya?” pikirnya lagi. Sebab, sudah sebulan ini suaminya tak pulang, bertugas ke luar kota. Kota tempat masa remajanya ia habiskan. Kota tempatnya menyimpan kenangan tentang seorang lelaki yang pernah sangat dicintainya. Pernah? Bukankah saat ini pun ia masih mencintainya? Lantas kenapa ia menikah dengan laki-laki lain kalau ia masih mencintainya? Ya, kenapa?
Kilatan-kilatan masa lalu berkelebat dalam kepala Dewi Kesunyian. Dia ingat lagi, kenapa dia meninggalkan orang yang sangat dicintainya. Ia merasa tak cukup keberanian untuk menjadi seorang kekasih seorang seniman, penyair gendeng. Ia tak bisa memahami dunia-dunia absurditas milik kekasihnya itu. Ia ingin hidup di dunia nyata. Berpijak pada tanah realitas. Bukan hidup di dunia khayalan. Maka, dengan keterpaksaan, ia tinggalkan kekasihnya itu. Lalu menikah dengan seorang pegawai swasta dari sebuah perusahaan yang cukup ternama.
“Apa yang dikirim suaminya?” pikirnya ketika yang ia temukan hanya berupa lembaran-lembaran kertas dengan pita berwarna hitam. Matanya tiba-tiba terbelalak. Ia menjerit sekuat tenaganya. Ia melolong. Kertas yang tengah dipegangnya berjatuhan ke lantai. Kamarnya penuh dengan serakan-serakan kertas yang berisi lukisan wajah seorang perempuan. Perempuan yang bernama Dewi Kesunyian.
Dia memahami betul siapa yang telah mengirimkan gambar wajahnya pada setiap helai kertas itu, lukisan dengan tinta darah. Dia tahu, bukan suaminya yang telah mengirimkan lukisan itu kepadanya. Dia paham betul, apa yang akan terjadi setelah ini. Dewi kesunyian pernah membayangkan kejadian ini sebelum-sebelumnya, dan ia yakin akan terjadi entah kapan. Tapi ia tidak mengira hal ini terjadi begitu cepat. Secepat kilat menyambar. Dia paham betul, siapa orang yang telah ditinggalkannya dua tahun yang lalu. Dua tahun yang dibangun bersama suaminya belum apa-apa. Sampai saat ini, Dewi kesunyian belum dianugerahi keturunan.
“Sudah sampai waktunya!” geletar suara Dewi kesunyian dalam malam yang sepi. Hanya suara detak jam yang menemani kesendiriannya. Matanya tak bisa terpejam. Ada dorongan yang membuat matanya terus terbuka. Tak ada kantuk yang singgah dalam bola matanya yang kelam. Dia teringat suaminya.
Matahari muncul dari ufuk timur dengan cahayanya yang indah. Pagi mulai menggantikan malam. Waktu terus bergulir. Tapi Dewi kesunyian masih terdiam, duduk dalam kursinya yang beku. Dunia baginya tak pernah melaju. Dunia baginya kini hanyalah kata yang tak berarti, tak bermakna. Seperti keyakinannya tentang suaminya yang takkan mungkin kembali lagi.
Sebuah media massa memuat tentang sebuah mayat yang ditemukan dalam keadaan terpotong-potong.***

MENGAPA KAU MEMILIHKU

“Mengapa kau memilihku?” matanya menatapku tajam. Ada kilatan-kilatan asing pada dua bola matanya.
“Karena aku mencintaimu,” kataku mantap.
Biasanya, seorang perempuan akan tertunduk malu dengan pipi bersemu merah saat mendengar ucapanku. Tak peduli dia mencintaiku atau tidak. Tapi perempuan yang berada di hadapanku sekarang, dia malah sebaliknya. Matanya semakin tajam menatapku. Aku jengah, kini justeru aku yang menunduk di hadapannya.
“Jangan berkata cinta. Aku terlalu awam untuk perkara macam itu,” katanya tegas.
“Ini perasaanku yang sebenarnya, Win!” Ini saatnya berterus terang, pikirku.
“Perasaan?” pertanyaannya seperti mencoba meyakinkanku.
“Iya, Win, perasaanku padamu.”
“Jangan berlebihan memahami perasaan. Sebab dia mudah berubah, kini kau merasakan A, tapi besok. Bisakah kau menjamin perasaan itu masih A?” Dia tersenyum sekilas, senyum yang semakin asing.
“Ya, kau benar. Tapi bukankah ketika perasaanku saat ini kukatakan, lalu kau pun punya perasaan yang sama. Kita bisa mempertahankannya bukan? Sampai perasaan kita benar-benar menyatu, sampai akhirnya kita akan menjalin hidup bersama, selamanya!” Aku berbicara panjang tentang konsep perasaan yang kupahami.
“Kamu berpikir rumit amat sih, to.” Dia geleng-geleng kepala mendengar penjelasanku yang panjang lebar itu.
“Rumit? Mungkin. Tapi kau yang mendorongku untuk berkata seperti ini,” kataku mengelak.
“Wanto, aku tidak membutuhkan falsafah apapun. Aku hanya bertanya ‘kenapa kau memilihku?’ pertanyaanku sederhana, to. Kau yang telah membuatnya jadi rumit,”
Dia telah membuatku terdiam lama.
“Kenapa aku memilihmu?” tak sadar bibirku mengulang pertanyaannya.
Dia tersenyum. Mengejekku? Mungkin. Tapi aku tak peduli. Kuulangi kembali pertanyaannya beribu kali dalam kepalaku. Kenapa aku memilihmu? Kenapa aku memilihmu? Kenapa aku memilihmu? Kenapa aku...?
“Kau tak punya jawaban kan, to?” katanya saat melihatku terdiam lama, “lebih baik kau pikirkan kembali, apakah pernyataanmu itu benar atau hanya perasaan yang selewat habis. Aku masih disini, kau tak perlu tergesa.” Dia beranjak, meninggalkan kesunyian kampus saat senja tiba.
“Win, sebentar!” Kataku, mencoba menghentikannya.
“Kenapa, to?” Dia menoleh, berhenti melangkahkan kakinya, menungguku menghampirinya untuk yang kedua kalinya.
“Boleh aku mengantarmu pulang?” tanyaku ragu.
“Aku tak bisa menolak niat baikmu yang satu ini, to.” Katanya sambil tersenyum.
Aku berjalan beriringan.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Aku ingin ke rumah Rena, menengoknya. Ada kabar dia sakit. Kalau sama kamu, kita bisa nengok sama-sama kan?” Senyumnya mengakhiri setiap kata yang meluncur dari bibirnya.
Ahh...kenapa aku harus menjadi seperti orang dungu di hadapannya. Kenapa dia menjadi seperti jauh... takkan bisa kujangkau. Kenapa? Hidup memang asing. Terkadang aku menjelma cakrawala, terkadang matahari, terkadang lautan yang membentang biru, atau terkadang aku menjadi seekor kecoa. Seperti saat ini.
“Kok malah melamun sih, to.” Dia mengagetkan aku yang tengah menerbangkan pikir menuju entah, “ayo diminum, aku sudah cape-cape bikin kopi, ntar keburu dingin.” Ucapnya lagi.
“Rumahmu apik, Win. Aku menikmati suasananya, sejuk!” kataku berbasa-basi.
“Rumah jelek gini, kalau nggak dibuat nyaman, nggak akan bikin betah, to.” Dia duduk di kursi sebelahku.
Aku mengantarnya sampai rumah setelah dia dan aku menengok Rena. Dia benar-benar perempuan yang teramat perhatian terhadap teman. Aku semakin mengagumi sosoknya. Haruskah kukatakan padanya, bahwa perasaan ini telah kupendam bertahun-tahun tanpa dia tahu? Haruskah kukatakan padanya bahwa aku mencintainya sejak pertama kali dia memberiku senyum paling indah? Saat dia membaca sebuah puisi dalam sebuah pementasa? Dan aku menjadi lawan mainnya waktu itu? Haruskah kukatakan semuanya padanya?
“Tuh kan bengong lagi,” kata-katanya kembali menyadarkan aku.
“Aku bukan bengong, Win. Hanya mencoba mencari jawaban yang tepat atas pertanyaanmu itu.” Kutatap wajahnya, mungkin ada yang berubah. Tapi tetap, wajahnya begitu bening, seperti aliran sungai. Tenang, tapi entah di kedalamannya. Mungkin banyak gelombang.
“Jangan di sini donk. Aku tak ingin hanya menjadi patung, sedang kita bisa berbicara banyak hal.” Senyum itu kembali menghias setiap kata dari tubuh sunyinya.
Perbicanganpun bergema, dari ruang-ruang batin paling purba. Dari rangkaian peristiwa ke peristiwa. Dari satu mimpi ke mimpi lain, dari ribuan sunyi menuju ribuan sepi. Perbincangan yang menjadi cahaya dalam dadaku, sebab aku semakin meyakini, dia adalah yang terbaik dalam hidupku saat ini, esok dan nanti.
* * *
“Win, aku menemuimu untuk mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu. Aku ingin engkau menjadi kekasihku, saat ini, esok juga nanti.”
Malam begitu sempurna, seakan-akan mereka mendukungku mengatakan semua ini padanya.
“Engkau sudah punya jawaban dari pertanyaanku, to?” katanya lagi.
“Benarkah engkau menginginkan jawaban atas pertanyaanmu?” aku mencoba meyakinkannya.
“Tentu saja, to. Kau kira aku bercanda saat bertanya padamu? Tidak. Aku serius menanyakan itu padamu.” Kata-katanya menjadi lebih tegas.
“Aku tak punya jawaban atas pertanyaanmu. Aku hanya ingin mengatakan padamu, bahwa aku memilihmu menjadi kekasihku, karena aku ingin hanya engkau yang nantinya akan mengisi setiap detik dari hari-hariku yang sepi. Aku hanya ingin engkau dalam hidupku, bukan orang lain. Mungkin ini bukan jawaban yang kau inginkan dariku atas pertanyaanmu, tapi aku ingin engkau memahamiku apa adanya.”
Aku menarik nafas panjang setelah kutumpahkan setiap huruf yang membuatku tersiksa sepanjang malam, sepanjang siang, sepanjang perjalanan hidup. Kulihat dia hanya diam. Tak bergeming.
“Win, aku ingin jawabanmu atas keinginanku, perasaanku.” Aku berharap dia menatapku seperti dulu.
“To, sepertinya aku tak perlu menjawab iya atau tidak atas pertanyaanmu. Sebab tanpa menjawabnya pun engkau sudah tahu jawabanku.” Dia menatapku dengan senyumnya yang itu. Senyum yang selama ini hadir dalam mimpi-mimpiku.
Aku tersenyum, kugenggam erat jemarinya. Kukecup lembut keningnya. Aku tahu, bahwa ia akan mengatakan ini kepadaku suatu saat nanti. Esok atau pun nanti.***

January 05, 2003

MENJELANG SUBUH DI JALAN SETIABUDHI


Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 00.30 WIB. Kami bersiap-siap pergi lengkap dengan jaket, kupluk dan syal. Menuruni tangga, terasa udara dingin menyelusup lewat pentilasi di gedung ini. Keluar dari gedung Pentagon, –gedung tempat kami berkontemplasi- kulihat langit cerah, bintang bertaburan menghiasi malam yang temaram, sedang bulan malu-malu di antara awan gemawan.
Langkah kami sempat terhenti melihat langit yang indah itu, tapi setelah beberapa saat langkah kam berlanjut. Kami melewati sebuah Bank, tak satupun orang di sana, padahal kalau siang sering kulihat orang-orang antri di ATMnya. Melewati Pos Satpam, hanya dua orang satpam berdiri sambil ngobrol. Kami menyebrang jalan. Beberapa detik kami mematung di jalan yang sepi. Hanya dua, tiga mobil saja yang lewat. Aku tak habis pikir, kenapa kalau siang jalan bisa macet? Tak ada satupun angkot yang lewat di depan kami. Kami saling berpandangan.
“Kita tunggu sebentar lagi, kalau tak ada saja, kita jalan!” kata-katanya bergetar di antara udara yang membeku.
Kami semakin merapatkan jaket. Lalu dari arah terminal, aku melihat sebuah angkot tua terseok-seok. Tangan kami memberi isyarat untuk berhenti. Sopir angkot terlihat mengantuk, kami duduk di bagian belakang, hanya ada dua orang penumpang yang kulihat terpejam matanya.
Tepat di sebuah tenda penjual roti bakar, kami berhenti. Dia membayar ongkos kami berdua. Sopir dengan acuh tak acuk melempar uang pembayaran ongkos kami, lalu kembali menghidupkan mesin mobil, melaju, terseok-seok.
Kami masuk ke dalam tenda, kami duduk berhadapan. Mataku menatap lurus ke arah jalan Setiabudhi. Beberapa orang berjalan di antara kesunyian yang semakin mencekam. Sebuah Kijang berhenti, tepat di depan tenda, tempat kami duduk. Sedang kami masih membisu, tak ada satu katapun yan keluar dari bibir kami.
“Pesan apa Mbak?” seorang koki berdiri di sampingku, aku masih membisu. Koki tersebut menoleh ke arahnya. Dia menatapku, aku hanya diam.
“Roti bakar dua!” akhirnya dia berkata pada koki yang memakai serbet berwarna putih dengan kemeja kotak-kotak melekat dibaliknya.
Tak satu pun obrolan yang keluar ketika kami makan. Beberapa orang datang, duduk di antara meja-meja yang sudah diatur. Satu meja dengan empat kursi terbuat dari plastik. Obrolan mereka, tawa mereka, menjadikan udara dingin sedikit menguap dari tubuhku.
Selesai makan, aku berdiri lalu keluar dari tenda, sementara dia membayar makanan yang telah kami makan. Aku kembali menatap jalan Setiabudhi, sepi. Hanya ada satu mobil Karimun yang lewat di hadapanku dalam beberapa detik saja, mobil itu sudah menghilang karena kecepatan yang digunakan selalu tinggi di malam sesepi ini. Dia muncul dari dalam tenda, kami bertatapan. Jam ditangannya tepat pukul 03.15 WIB. Kami menyebrang jalan yang lengang, padahal kalau kubayangkan kami sedang berada siang hari, maka kami takkan semudah ini menyebrang jalan. Jalan Setiabudhi waktu siang adalah jalan yang selalu macet.
Kami berjalan ke arah Panorama, pulang menuju Pentagon –gedung tempat kami berkontemplasi.-
Udara masih tetap dingin, sedingin hati kami.***
PERBINCANGAN PADA SENJA

Kau kembali
ketika senja menebar perunggu
di keluasan cakrawala.
Dan aku tak mampu mengubah warna senja,
agar kau bahagia.
Tanya itu adalah bisa bagi jiwaku yang hampa.


Kau kembali!
Aku seakan tak percaya pada penglihatanku sendiri. Jujur saja, aku rindu kebersamaan kita di masa lalu. Ahh…ternyata senja membawamu padaku.
“Kau tak berubah!” katamu saat aku berteriak melihat kedatanganmu.
“Gerangan apa yang membawamu kemari?” kataku.
“Naluriku berbisik agar aku kemari, akhirnya kukendarai angin kerinduan ini untuk sampai di depan pintumu.” Kau masih juga seperti dulu, pandai berkata-kata.
“Ternyata kebiasaan menggombalmu masih belum hilang!” kataku lagi.
“Sebab aku belajar darimu,” katamu.
Kau keluarkan sebatang rokok, masih dengan merk yang sama.
Lalu kami duduk memandang senja. Aku masih terus saja mengagumi senja, padahal setiap hari, senja ini terlewati. Anehnya aku tak merasa bosan menelan jingganya.
“Masih 234 Bung!” kataku lagi mencoba mencari perubahan dalam dirimu.
“Semasih aku mampu. Kau masih ingat? Aku menghisap rokok ini pertama kalinya sebab rokok ini pemberianmu. Dari sana aku tak ingin mengubahnya.” Dengan cepat kau nyalakan rokok itu dan menghisapnya dalam-dalam.
“Aku sepertinya ikut menikmati saat kau menghisap rokok itu,” kataku masih tetap berusaha mencari hal lain dalam dirimu.
“Kau merokok juga?” kau memperlihatkan wajah kaget. Kau menatapku dengan sejuta tanya lewat kerutan di dahimu.
“Tentu saja tidak! Aku takkan pernah mencobanya, walau satu hisap saja,” jawabanku membuat tawa di bibirmu. Akhirnya aku ikut juga tertawa.
“Aku memang bodoh. Aku telah menganggapmu sama seperti perempuan lain. Maafkan aku,” kini di wajahmu tergambar keseriusan.
“Sudahlah! Lupakan saja, sebab bukan hanya kau yang berkata demikian. Seniorku di kampus pun berkata seperti itu.” Aku tersenyum agar kau tak terlalu merasa bersalah.
“Oh ya, kau belum bercerita tentang kampusmu! Sudah ketemu jodoh belum?” kini tawamu terdengar nakal.
“Biasa saja, tak ada yang menarik. Hanya kejenuhan-kejenuhan itu kini semakin sering mendatangiku.” Menatap senja membawaku seperti melayang.
“Carilah pacar! Agar kau tak bocan.” Matamu pun sama. Menakjubi senja dan awan-awan berwarna perunggu.
“Entahlah, aku tak bisa. Mencoba mencintai seseorang ternyata sulit, lebih sulit daripada dicintai. Sampai saat ini, aku belum bisa jatuh cinta,” kutatap wajahmu, terkenang aku pada masa-masa yang lalu.
“Maafkan aku. Bertanya hal itu padamu.” Kini kau merasa teramat bersalah.
“Sudahlah, aku lebih suka kau mengejek daripada kau mengasihaniku seperti itu,” kataku dengan suara tegas.
“Hahaha…haha. Aku lupa satu hal lagi tentangmu!” kau kini tertawa, tapi aku tak tahu apa isi hatimu.
“Dulu…aku bahagia, saat kukatakan aku berhasil mencintaimu, namun akhirnya aku tahu juga. Itu bukan cinta. Sebab, perasaanku pada yang lainpun sama, sama seperti padamu,” setengah bergumam kata-kata itu meluncur dari bibirku.
“Saat itupun aku menyadari, kau tak mencintaiku sepenuh hati. Sebab, kau tak punya rasa cemburu, tak ada kebahagiaan berlebih di matamu saat kita bertemu dan berbincang-bincang. Walaupun kuakui kasih sayang dan perhatianmu membuatku bergetar. Saat itu, ingin kumiliki kau seutuhnya.” Matamu menerawang jauh.
“Lalu, kenapa tak kau katakan kalau itu bukan cinta? Kalau sebenarnya aku tak pernah jatuh cinta pada siapapun.”
Kucari jawaban pada kepulan asap rokok yang baru saja kau hembuskan.
“Aku tak ingin melihat orang yang kucintai kecewa!” Kulihat kau menarik nafas panjang, seperti ada beban dalam dadamu yang ingin kau hembuskan, bersama asap rokok yang kau hisap.
“Lalu tentangmu. Siapa pacarmu saat ini?” kataku lagi.
“Tak ada! Aku belum bisa mencintai perempuan selain dirimu. Pertama kali aku menyatakan cinta, aku berniat ingin menolongmu menemukan cinta pertama, meskipun saat itu belum tumbuh dalam jiwaku cinta seperti sekarang ini." Aku lihat kau menunduk sesaat lalu kau menatapku. Tatapanmu masih seperti dulu. Dan aku, tak suka kau menatapku seperti itu.
“Lalu apa yang akan kau perbuat untuk saat ini?”
“Aku menunggu jawabanmu!” Kata-katamu seperti petir di siang bolong. Aku berpikir kau mungkin sedang membuat sandiwara untuk membuatku tertawa.
“Kau bercanda kan?” kataku sambil menahan tawa.
“Tidak. Aku serius! Aku mohon kau menjawabnya. Apakah boleh, aku kembali menghiasi hari-harimu?” dalam ucapanmu aku terhanyut.
“Kau serius rupanya!” hanya kata itu yang mampu kuucapkan.
“Ya. Dan kau harus menjawabnya.”
Lalu kita berdua diam. Kembali mengakrabi senja yang semakin berwarna perunggu. Tanganmu mematikan rokok, menjadikannya sebagai penghuni asbak, kau menatapku. Menantikan sebuah jawaban.
“Terima kasih kau masih menyimpan cinta untukku, aku bahagia. Namun, aku tak ingin membohongimu dengan berpura-pura mencintaimu sepenuh hati. Padahal di satu sisi kau tak lebih berarti dengan yang lainnya. Aku mencintaimu sebagai sahabat,” kata demi kata kuucapkan. Perlahan tapi pasti.
Kulihat kau menghembuskan nafas dalam. Aku tahu, kau mencoba untuk tegar menghadapi kenyataan ini.
“Sudah kuduga jawabanmu. Tapi tetap saja, ada kekecewaan menghantui. Ahh…sudahlah, aku seharusnya bahagia, sebab kau mencintaiku sebagai sahabat.” Ada senyum yang dipaksakan pada kedua bibirmu.
“Lebih baik kau minum dulu! Lalu kau ceritakan hidupmu yang lain. Biarlah sepenggal kisah ini tak perlu kau simpan dalam memori. Agar kau tak akan terkenang lagi.”
“Mencintaimu bukankah tak harus mengubah warna senja?” pertanyaan itu tiba-tiba menghiasi perbincangan kita selepas maghrib. Membuatku berpikir.
“Apa maksudmu? Aku tak paham.”
“Mencintaimu tak harus kau balas dengan kau mencintaiku, sebab senja tetaplah senja.” Matamu kini kosong, hampa.
“Sudahlah…jangan kita lanjutkan obrolan ini. Aku ingin kau cerita tentang hidupmu yang lain. Kuliahmu, orangtuamu, atau segala hal tentangmu asal jangan membahas hal yang tadi,” kataku akhirnya.
“Kenapa? Kau takut?” kau berbicara seakan-akan mengancamku.
“Aku tak takut. Aku hanya khawatir kalau pada akhirnya nanti, kau akan kembali mempertanyakan satu hal kepadaku. Dan aku tak ingin menjawabnya untuk saat ini,” suaraku menggema.
“Kadang aku berpikir, kau adalah perempuan aneh,” kembali tanganmu menyalakan api, membakar rokok dan hanyut dalam kepulan asap putih.
“Itu karena kau terbiasa dengan perempuan yang bertolak belakang dengan sifatku.” Kutatap kembali raut wajahmu, kini kusadari bahwa dirimu semakin dewasa.
“Sejujurnya, aku ingin kau menerima cintaku. Lalu kita akan kembali mengulang masa indah dulu. Tapi, lagi-lagi aku harus berhadapan dengan kekecewaan,” katamu lagi. Ada guratan kesedihan pada matamu.
“Sudahlah, tokh pada akhirnya kau dan aku lebih cocok jadi sahabat. Aku menyadari hal itu, kau adalah sahabat terbaikku…”
“Tapi, aku punya satu pertanyaan terakhir untukmu,” katamu tanpa menunggu aku menyelesaikan kalimat.
“Tentu saja. Silahkan. Asal jangan mempertanyakan jawabanku atas permintaanmu, sebab aku tak bisa,” kataku.
“Tapi kau harus menjawabnya!” katamu dengan wajah memaksa.
“Kalau aku mampu. Tapi aku tak bisa berjanji.” Hatiku bertanya-tanya, apa pertanyaan yang hendak kau ajukan untukku.
“Windy. Kapan kau akan mulai jatuh cinta?” Pertanyaan yang meluncur mulus dari bibirmu membuatku tersentak.
Seperti ada sembilu yang mengiris hatiku. Bukan karena pertanyaan yang kau ajukan untukku, bukan. Bukan pula karena pertanyaan itu membuatku merasa bahwa kau sedang mengejekku, bukan. Bukan hal itu.
Aku hanya merasa. Sekarang ini aku berada dalam gua tanpa sedikitpun cahaya. Dan cahaya itu, entah kapan akan aku temukan. Aku hanya menunduk. Menatap lekat lantai tempatku berpijak. Aku berharap di bawah sana, ada cinta untukku.
Aku ingin mencintai seseorang. Tak peduli siapapun dia. Namun, entah kapan itu terjadi.
“Aku tak tahu, Pras! Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu.”
***